Sepi sekali.
Sepi yang begitu lama, membuatku tidak nyaman.
Aku menatap cangkir kopiku dengan tatapan kosong. Liam masih di depanku, dia masih sabar untuk menungguku bicara. Tadi aku sudah meneleponnya untuk mengajaknya sarapan bersama, tapi sekarang... kami hanya diam. Tidak. Dia menungguku bergerak, karena sebenarnya daritadi aku hanya diam.
Aku akhirnya berusaha bicara, "Maaf, aku tidak bermaksud seperti ini, aku hanya--"
"Tidak apa-apa."
Aku mendongakkan kepalaku, menggeleng dengan putus asa. Tapi Liam mendahuluiku. Dia tersenyum menenangkan. "Kau mungkin belum siap mengatakan apa yang tengah mengganjal dikepalamu sekarang, aku mengerti. Tapi aku mohon, jangan biarkan dirimu menjadi menyedihkan seperti itu. Melihatmu seperti ini benar-benar..."
Aku memotong kata-katanya sambil berusaha tersenyum, "Aku tahu. Maaf telah mengkhawatirkanmu."
Dia kembali tersenyum. Liam menepuk pundakku pelan, menyemangati. Sambil masih tersenyum dia pun mulai bangkit dari tempat duduknya, "Hei! Kau sudah mengajakku sarapan pagi ini... Jadi kau harus bertanggung jawab dengan melayaniku makanan-makanan enak, Nona. Sejujurnya aku sangat lapar,"
"Apa aku membangunkanmu begitu pagi sampai kau tak sempat memakan apapun?"
"Kau mau tahu?" Liam menatapku serius, "aku berlari kesini saat kau meneleponku. Aku tidak menyentuh air sedikitpun. Bagaimana sarapan?"
***