Tampilkan postingan dengan label words of mine. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label words of mine. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 Maret 2016

Pada satu malam.

Sedang rintik hujan di luar sana
Mengajak menutup mata
Bergerumul dalam selimut
Membawakan cerita sendu
Lalu murung tiba-tiba

Sedang memeluk diri tangan ini
Menolak untuk mendayu
Namun kepala menunduk menolak cahaya
Mengetuk sebagian pikiran
Lalu resah tiba-tiba

Sedang apa semesta saat ini
Waktunya tak melambat
Mengajaknya berlari
Mengadahkan kepala menengok jalan
Lalu tersentak tiba-tiba

Mana yang membara,
mana,
yang membakar raup nyala dalam diri,
sekarang hangus habis,
dimakan kekosongan.

Jumat, 15 Januari 2016

Mengartikan sepasang mata.

Katanya, mata tidak pernah berbohong. Karena itu aku memandanginya lamat-lamat. Menyelami biji matanya yang gelap. Mungkin ada jawaban disana. Tapi matanya tak terus-menerus menatapku. Sesekali matanya menutup, atau memandang yang lain. Aku kesulitan mencari arah, lalu akhirnya lelah mencari. Matanya menutup jawaban. Ia tak mau dicari. 

Tapi aku tidak akan pergi. Aku menunggunya untuk yang lain. Mungkin lain kali, bukan hanya matanya yang berbicara. Tapi bibirnya yang akan memberikan jawaban. Mungkin, nanti.

Selasa, 05 Januari 2016

Katanya...

"Merindu," katanya.

Katanya, ia rindu untuk mengobrol semalam suntuk. Sampai rasanya telinga terasa panas. Padahal entah apa saja yang diobrolkan. Kebanyakan bukan hal-hal penting. Konyol, tapi menyenangkan.

Katanya, ia rindu untuk sekedar berjalan-jalan tak tentu arah. Tapi jelas waktu yang berlalu tak berjalan lambat bak siput, bahkan sampai tak terasa matahari sudah menggantung menuju tenggelam.

Katanya, ia rindu hanya untuk diam di sebuah restoran junkfood. Selalu memesan minuman yang sama, lalu berbincang sampai rasanya kaki mulai membeku diserbu dinginnya pendingin ruangan.

Katanya, ia rindu untuk melakukan hal-hal bodoh yang mengundang gelak tawa. Entah itu di jalan. Atau di dalam ruang bioskop. Celetukan bodoh, tindakan-tindakan spontan, apapun itu.

Katanya, ia rindu untuk diingatkan untuk menjadi lebih baik. Tidak dengan nada tinggi. Bukan dengan ceramah panjang lebar. Tapi dengan caranya sendiri, yang tidak menyebalkan untuk didengarkan dan diresapi.

Katanya...

"Terlalu banyak. Terlalu banyak rindunya."

Selasa, 22 Desember 2015

"Semuanya akan baik-baik saja, kok."

Saat ini didepanku ada seorang gadis. Wajahnya tertunduk, kedua tangannya saling mencengkram, rambutnya hampir menutupi seluruh sisi wajahnya, dan ya, ia menangis. Aku bukan penghibur yang baik, karena itu aku lebih memilih untuk tetap diam dan sesekali menepuk pundaknya. Aku menggigit bibir. Aku mengalaminya.

Dalam hati aku bergumam, untunglah kamu bisa menangis. Untunglah kamu bisa bercerita. Bahkan mungkin kalau kau tak segan, berteriak didepanku agar hal menyesakkan dadamu itu melebur keluar bersamaan dengan tarikan nafasmu. Kamu masih beruntung, sungguh.

Bukannya bergerumul dengan hal yang sama setiap hari, berusaha terbangun dengan sisa-sisa tangis yang bahkan tak bisa dirasakan, menutup mulut, hidup seperti tak ada apa-apa yang salah dengan harimu. Menjadi melelahkan, karena berlari pun tak akan ada bedanya.

Lamunanku buyar. Aku berusaha tersenyum ketika gadis itu mendongakkan kepalanya. Gadis itu tersenyum kecil, lalu mengambil sapu tangan yang kusodorkan. Dia bergumam maaf, yang kuindahkan. Untuk apa meminta maaf jika memang itu yang kamu butuhkan. Aku menggeleng, hanya menjawab tak apa. Lamat-lamat kupandangi gadis itu. Terdengar konyol, tapi kudapati rasa iri. 

Gadis itu akhirnya tertawa. Sekali lagi meminta maaf. Dia bercerita lagi, tapi tapi tak lama. Gadis itu memelukku lama, mengucapkan terimakasihnya lebih dari kata-kata. Masih kurasakan dada gadis itu menahan tangisnya, tapi kali ini ia tutup dengan senyum kecil. Senyumnya cantik, mungkin karena lega yang dirasa. Akhirnya gadis itu pergi, meninggalkan jejak kaki yang tak berbekas diruangan. Meninggalkan aku, yang masih sibuk dengan pikiranku sendiri.

Hei,

Saat ini aku butuh kamu, yang bisa mendengarkan, bisa menepuk bahu, membiarkanku menangis, lalu memelukku. Tidak usah berkata bahwa 'semua akan baik-baik saja', tapi memberiku keyakinan bahwa kamu selalu ada disana. Menopang kerapuhanku. Mengusap kepalaku. Menenangkan aku. Barulah kamu bisa bilang, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Masalahnya,
kamu dimana?

Jumat, 02 Oktober 2015

Bersandar.

Aku ingin bersandar pada kamu,
tapi kamu dingin,
aku takut,
karena takut menjadi dingin.

Senin, 17 Agustus 2015

Tiga

"Hai."

Tiga huruf itu yang keluar dari mulutnya. Hanya tiga huruf. Tiga huruf pertama setelah tiga tahun aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Tiga huruf yang selalu aku tunggu-tunggu hingga rasanya ingin meledak. Butuh waktu lebih dari tiga detik bagiku untuk bisa mencerna apa yang terjadi. Ketiga temanku terdiam, menatapku, menunggu reaksiku. Mungkin sekarang ada lebih dari tiga bom reaktif yang menyala dengan otomatis dalam tubuhku ketika momen ini tiba. Jarak kami tidak lebih dari tiga pangkal jari. Aku bisa merasakan jantungku berdegup begitu kencang, dug dug dug.

Di tengah kebingunganku, makanan pesanan ketiga temanku datang. Pelayan datang sambil membungkuk kecil, lalu menaruh makanan di meja kami, meja nomer tiga. Temanku menyenggol tanganku sambil menunjuk jam tangannya, sekarang sudah hampir jam tiga sore. Tiga puluh menit lagi kelas kami akan dimulai. Selain itu kelas sore ini ada di lantai tiga, kami diburu waktu.

Aku mendongak, dia masih disana, masih meninggalkan sapaan tiga hurufnya. Berusaha mengontrol diri, aku menjawab dengan tiga kata sopan, "Hai, apa kabar?". Belum sempat menjawab, aku melihat sosok perempuan yang berjalan mendekati meja nomer tiga. Perempuan itu menepuk bahunya, mengatakan bahwa film yang mereka tonton akan dimulai tiga menit lagi. Dia mengangguk, lalu menoleh, "Sampai nanti ya,", mengucapkan tiga kata terakhirnya.

 Aku menelan ludah, ini tiga menit terbodoh dalam hidupku.

Jumat, 12 Juni 2015

Malam milik Ibu.

Malam itu, Ibu belum tertidur. Sudah tidak ada yang terjaga. Bapak sudah dikelabui lelah. Ketiga anaknya pun saat ini pasti sudah tertidur ditempatnya masing-masing. Tak terjangkau tangannya, tapi ia yakin mereka beristirahat dengan nyaman, dilindungi hangatnya selimut dan buaian mimpi. Tapi Ibu belum tertidur, matanya masih terjaga.

Tangannya mematikan lampu dapur. Semua sudah bersih, semua sudah beres. Kantuk mulai menyerang, tapi ia masih belum ingin tidur. Sebentar.. biarkan badan ini beristirahat di kursi panjang ruang keluarga.

Jarinya meregang. Rasa pegal yang sudah ia kenal menyapa. Ibu menghela napas sembari berpikir, ah begini lagi. Sambil memijit-mijit tangan kanannya, matanya mengelilingi ruangan. Sepi, tidak seramai dulu. Rumah ini semakin sepi. Perlahan, kakinya bergantian memasuki tiga ruangan kosong dalam rumah. Kamar ketiga anaknya. 

Kakinya berhenti di kamar terakhir. Ibu menyalakan lampu kamar, lalu duduk disisi tempat tidur. Matanya berkeliling, tersenyum. Ketiga kamar anaknya tak berdebu, tapi baunya sudah berbeda. Tangannya sudah seringkali merawat ketiga kamar itu, tapi tetap saja kelihatannya berbeda. Tak ada ketiga anak yang dicintainya disana. 

Ibu merindu. Hatinya bersyukur bahwa ia dapat melihat ketiga anaknya tumbuh dewasa, namun seringkali ia ingin menjadi egois. Bahwa mereka akan tetap disana untuknya, untuk Bapaknya, untuk mereka berdua. Tapi apa daya, lembaran baru dalam kehidupan mereka tak akan mengijinkannya untuk berlaku egois. Mereka punya hidup baru, dimana ia bukan menjadi pemeran utamanya.

Ibu tidak apa-apa. Bapak tidak apa-apa. Karena mereka tak pernah menuntut apa-apa.

Dalam hati Ibu bersyukur, saat ini bukan menjadi hal yang sulit untuk bisa menghubungi anak-anaknya. Walaupun hanya sekedar menanyakan kabar. Yang penting untuknya adalah mendengar dengan telinganya sendiri bahwa mereka sehat, bahagia, dan hidup dengan baik. Ibu masih bisa tersenyum dan tertawa mendengar suara anak-anaknya dari ujung telepon. Apapun caranya.

Matanya semakin berat. Ibu bangkit dari tempatnya singgah, menepuk-nepuk sprei yang kusut, lalu berjalan mematikan lampu. Rumahnya semakin kosong. Rumah sederhana ini terasa begitu besar dan sepi. Tapi Ibu bisa menahan rindu, hari Raya akan datang membawa anak-anaknya pulang.

Kamis, 11 Juni 2015

Aku tidak hidup untuk kamu.


taken from Tumblr

"Aku tidak menuntutmu untuk hidup, aku menginginkanmu sempurna."

Bisikan itu memenuhi telinganya, membuat bulu kuduknya merinding. Sosok perempuan itu sekarang mengelilingi tubuhnya. Bisa ia rasakan wangi khas perempuan itu. Kulitnya bisa merasakan kuku perempuan itu pelan-pelan berjalan dari arah kepala menuju tengkuknya. 

"Aku sangat berharap bisa mengerti apa yang kamu pikirkan.." Kukunya berhenti disana, tepat dibelakang kepalanya. Ia menggigit bibirnya, merasakan ketakutan menjalari tubuhnya. Gelap tak menolong, tapi malah semakin membuatnya berdegup tak karuan. Saat ini ia bagaikan domba yang bertemu serigala. Tak berdaya.

Suara nafas perempuan itu begitu nyata terdengar. Sialnya ia tak bisa melihat apa yang saat ini dilakukan perempuan itu. Saat ini ia hanya bisa duduk tak bergeming di kursinya, menanti akhir. Perempuan ini pemuja kesempurnaan. Dia hidup untuk suatu aturan yang dibuatnya sendiri, yang diyakininya akan menuntunnya pada kesempurnaan yang hakiki. Seharusnya, ia pun hidup dengan cara yang sama. Cara yang sudah ditentukan. Apa daya, aturan sudah dilanggar. Sekarang, kuku-kuku itu menjalari tubuhnya seakan-akan menyobek permukaan kulitnya untuk mengoyak tubuh.

Kuku itu sekarang berhenti di pundaknya yang bertelanjang. Menusuk, dalam. Sakitnya baru terasa. Matanya melebar, giginya menggigit bibir lebih keras, tak ada jeritan, tapi hatinya sudah berteriak kesakitan.

"Sayang.. aku tidak hidup untuk seseorang yang tidak sempurna.."

Bisikannya semakin lirih ditelinga. Sakit di bahunya sekarang bukan apa-apa dibandingkan sakit yang ia rasakan di kepala. Pantas ia merasakan pening yang membuat kepalanya terasa pecah. Karena sekarang, mungkin kepalanya sudah benar-benar pecah.

Kamis, 23 April 2015



Aku tak pernah tahu apa yang kamu doakan untukku,
tapi yang kutahu pasti,
doa-doamu mengaliri setiap titik ruas tubuhku,
yang terbaik.

Karena setiap bibir ini siap mengeluarkan keluhnya,
lagi-lagi aku dibuat tertegun,
bahwa syukur yang harus kukatakan,
yang terbaik.

Doamu,
media pengharapanmu menuju-Nya,
untukku.

Jumat, 07 November 2014

Ditemani Malam.

Lagi-lagi telah dibuai Malam.

Tak ada belaian angin, terlalu panas kata Malam. Aku berseloroh sambil mengipas-ngipas, "Kalah kamu dengan Matahari? Masa dibawanya saja panas ini!"

Malam tak menampik. Masih berusaha menyandarkan punggung gelapnya dengan posisi nyaman, sebisa mungkin tak memberikan celah gelapnya terisi dengan yang lain. Matanya melirik malas, lalu meniup-niupku pelan. "Biar Hujan yang mengurusnya, bersyukurlah Matahari masih mau memberikan waktunya untukku."

Aku tertawa mendengar suaranya yang seakan sudah tak ambil pusing. Bayanganku tentang Matahari memenuhi mata. Sengatannya sudah keterlaluan, membuatku senewen seharian. Lagi-lagi aku mengeluh. "Aku benci sinar kuningnya. Aku bahkan tidak bisa memandang lurus."

Tiupan Malam membelai tiap helai rambutku diselingi tawanya, "Kau akan merindukan hangatnya jika aku terlalu lama disini,"

"Aku menyukaimu,"

"Kau akan membenciku karena kegelapan,"

Butuh tiga detik bagiku untuk bisa menjawab pernyataannya. "Kau benar. Aku benci gelap,"

"Sekalipun aku menghadirkan bintang dan bulan?"

"Tak usah kau pikirkan," aku mencoba mengelak, mulai tak menyukai arah pembicaraan, "aku selalu menyukaimu,"

Ini waktu favoritku. Meluruskan punggung, membiarkan sisi-sisi tubuhku beristirahat. Membuka jendela kamarku lebar-lebar, mendongakkan kepala sambil ditemani Malam yang selalu melongokkan kepalanya dari atas atap rumah. Mengalirkan obrolan santai mengenai hari ini, sekedar bercerita bahkan mengumpat. Entah kenapa dia mau mendengarkan. Mungkin karena kami sama-sama bosan.

"Akhir-akhir ini jendela kamarmu tertutup. Apa yang kau lakukan?"

"Aku berusaha untuk belajar," ucapku acuh, "tapi mengurung diri seperti itu hanya membuat kepalaku menjadi penat,"

"Bukakan saja jendelamu. Aku tak akan mengganggu."

"Jika aku menutup mataku, dan membukanya ditempat lain, apakah aku akan melihatmu sama seperti hari ini?"

Malam tak langsung menjawab. Posisinya saat ini ternyata membuat punggungnya semakin tak nyaman. Ia menggeliat, mencari posisi. Menjadikan bintang-bintang kecil itu sedikit menggumam kesal lalu meninggalkan posisi awalnya. Malam meminta maaf seadanya lalu kembali membelaiku dengan tiupan kecilnya.

"Tentu. Apa yang akan berubah? Malam akan tetap menjadi Malam. Malam adalah dimana kau menemukan gelap. Sekalipun kau berpindah ke tempat yang kau tak tahu namanya apa,"

"Sekalipun aku pergi dengan tanpa membuka mata?"

Malam tertegun. Aku bisa merasakan dia tak nyaman. "Tidurlah, kamu manusia yang selalu mengeluh. Jangan mendahului waktu. Aku akan menitipkan pesan pada Matahari agar tak menyengatmu dan membuat otakmu sama panasnya dengan siang hari."

Aku tertawa, "Selamat Malam,"

Suara Malam menenangkanku, membuat kelopak mataku tertutup terbuai kantuk. 

"Tidurlah kamu, yang menemani Malam."

Kamis, 21 Agustus 2014

Teruntuk, waktu yang keempat.

Kita saling berdiri berhadapan, saling tersenyum terhalang angin
Aku satu, kamu satu
Kita akan menjadi dua,
saling menambahkan untuk menjadi lebih besar
Kemudian mengusir angin yang menutupi senyuman

Namun nyatanya kita hanya melengkapi,
lalu saling mengurangi
Aku satu, kamu satu
Dan kita menjadi nol

Lingkaran kosong, sekosong rasa yang hanya diisi oleh angin
Masuk ke dalam tiap rongga tubuh, melayangkan senyuman
Lalu menjadi hampa


Kamis, 03 Juli 2014

Oranye.


Sosoknya seakan memenuhi ruangan. Auranya begitu kontras menguasai dinding ruangan yang berwarna cokelat gelap. Kalau aku bisa mengungkapkannya dengan warna, mungkin dia oranye. Begitu menyilaukan, namun kali ini aku ingin menutup mata.

Tentu, dia tau benar bahwa warnanya oranye.

Langkah kakinya memutariku yang masih menutup mata. Aku mulai merasa tak kerasan. Mataku sudah begitu berat. Rasanya ingin meninggalkan ragaku disini dengannya, sedangkan jiwaku mengendap diam dalam keheningan. Aku butuh ruangan kosong untuk bersembunyi sejenak.

Kurasakan tangannya mengelus pipiku dengan perlahan. Refleks kepalaku bergerak mengikuti arah tangannya. Mataku mengerjap. Bibirnya memenuhi pandanganku. Ekor mataku menelusuri jejak parasnya. Dia menatapku lekat-lekat, terlihat ingin diperhatikan.

Aku akan memuaskan kebutuhannya untuk diperhatikan saat ini. Karena tak lama lagi sudah dipastikan aku sudah dibuai tidur. Namun dia paham benar kalau kali ini aku setengah-setengah. Kudengar hembusan nafas kesalnya.

Kakinya menghentak keras. Sekaligus menghentak kepalaku. Sosok oranye itu memadamkan aura menyilaukannya. Tanda bahwa dia tengah didekap rasa kesal, dan lagi-lagi aku yang menjadi penyebabnya. Rasa bersalah mengisi relung, namun apa daya. Hanya kecewa yang dapat kubawa.

Aku memaksa kakiku untuk bergerak, mengikuti jejaknya yang makin menghentak. Saat dia marah, langkahnya begitu lebar namun tak cukup cepat untukku. Aku tahu dia sengaja, aku tahu dia ingin dikejar.

Kuputar bahunya, menangkap parasnya, lalu mencium keningnya.

Matanya mengerjap, menunggu alasan yang lain.

“’Ras, maafin Ayah ya. Ayah pulang kemalaman dan sekarang capek sekali.. Besok Raras boleh deh ajak main Ayah sepuasnya, tapi malam ini Ayah mau istirahat dulu.. boleh ya?”

Bibirnya membentuk kerucut menggemaskan. Sama persis dengan Ibunya. Aku tahu dia akan selalu mengerti, namun rasa kesal memang tak hilang secepat kerjapan matanya. Bola matanya memutar keatas, tengah mempertimbangkan sebuah kompensasi.

“Ayah janji. Awas aja kalo Ayah bohong sama Raras,”

Aku tersenyum. “Ayah janji kok,”

Mata lelahku kembali menangkap auranya yang menyilaukan seiring mengembangnya lengkungan garis bibir gadis mungil dihadapanku. Kalau aku bisa mengungkapkannya dengan warna,

mungkin dia oranye.

Selasa, 01 Juli 2014

Bertemu dengan Rumah & Takut


Malam kembali menunjukkan sosoknya. Lampu-lampu mulai memancarkan cahaya guna membohongi gelap. Suara yang terdengar tak seramai siang tadi. Hanya ada gesekan kayu tanda pintu yang terbuka, memberikan jalan bagi penghuninya yang ingin keluar sejenak dari rasa pengap pada ruangan kotak yang membungkus rapi kepala mereka. 

Nona itu, dengan tubuh mungilnya, menyandarkan lengannya pada bibir jendela. Menatap kekosongan, karena yang dilihatnya hanyalah apa tengah ia pikirkan. Waktu tak pernah bisa bohong, usianya sudah terpampang nyata, meminta pertanggungjawaban. Lagi-lagi semuanya jatuh satu-persatu dengan diam-diam. Nona tak sadar bahwa sudah tak pantas lagi ia memandang dengan acuh. Kaki ini minta digerakkan, tangannya diuji untuk menciptakan karya fantastis, rupa ini menuntut untuk dikenal orang-orang dari ruangan kotak.

Selamat datang. Itu katanya.

Nona mendengus pelan. Ia tak suka dengan kata-kata itu. Tak disangkalnya bahwa hanya takut yang ia punya sekarang. Langkahnya masih belum menentu, masih belum tahu pintu mana yang akan membawanya menuju apa yang ingin ia rengkuh. Rasanya seperti berjalan pada jembatan yang lebarnya tak hampir setengah dari telapak kakinya. Semuanya mengambang tak pasti. Hanya akan membuat tubuhnya jatuh pada jurang yang menampakkan kegelapan yang luarbiasa pekat.

Bahunya ditepuk pelan, berusaha mengantarkan kepercayaan. Nona semakin tertunduk dalam. Ia butuh tangan untuk menuntunnya. Nona tak mau melihat apa yang ada didepannya, karena ia tidak mau melihat gelengan kepala itu. 

Semilir angin mengantarkan dingin yang menusuk tiap senti kulitnya yang meregang, tapi bukan karena dingin. Tapi karena sekarang Nona tak kuat untuk menahan ketakutannya sendiri. Takut itu jahat, memakanmu bulat-bulat tanpa menyisakan apapun. Lalu kamu akan percaya bahwa apa yang kamu lakukan hanya akan membuat kaki-kaki kecil itu membuat tanda ditempat yang sama. Tak akan pernah bergerak. 

Karena takut yang paling menakutkan adalah menjadi hilang.

Tangan itu menyusup ke tiap jarinya. Nona akhirnya memandang mata itu. Angin tak lagi mengantar dingin, sekarang ia merasa hangat mengalir ke sekujur tubuhnya. Entah bagaimana caranya, akan selalu ada tangan yang menuntunmu, itu katanya.

Jadikan semua ini adalah alasan bagimu untuk pulang.

Tangan itu mendekap jemarinya semakin kuat. Nona menggigit bibirnya. Tak akan ada yang tahu kemana ia akan pulang. Bahkan definisi rumah baginya pun sekarang sudah berubah. Bukan lagi ruangan kotak yang sekarang ia tinggali seperti orang-orang lainnya. Namun sesuatu yang dapat menarik hatinya untuk kembali merindu, menyerahkan dirinya akan sesuatu, berlindung sejenak dari panggung hidup yang tak lelah menuntutnya untuk terus tersenyum diluar sana. Untuk menjadi dirinya, untuk menjadi lemah.

Jari-jari itu sekarang meregang keluar dari setiap ruang kosong diantara jari milik Nona. Kakinya melangkah maju, menutup jendela yang mengantarkan pemandangan malam. Sejenak sosoknya diam disana cukup lama. Lalu dia menoleh, berbicara pelan. Aku punya rasa takut yang sama, bahkan lebih besar. Langkahku diiringi takut, semakin besar langkahnya, semakin besar bayangan hitamnya.Tapi aku tahu,

kamu bisa hidup berdampingan dengan takutmu.

Nona memandang bingung. Kedua alisnya bersatu membentuk jembatan kecil menuju rasa herannya. Rasa penasaran mengusiknya dari balik mata. Wajah yang ada didepannya hanya tersenyum, tersenyum menenangkan. Mengusap pelan rambutnya.

Tidurlah, tidur. Kelak kamu akan menemukan rumahmu, bersama dengan takutmu.

Rabu, 25 Juni 2014

Menunggu, bersama.


"Apa yang kamu lakukan disaat kamu menunggu?"

Berusaha mencari kamu. 
Secara nyata maupun maya.
Tanpa bayangku yang kamu sadari.

"Tidak ada kan,"

Mataku mengerjap cepat. Tak ada kata untuk menyela. Napasnya terhembus kecewa, dan aku dimakan bulat-bulat ekspresinya yang mencabik rasa percaya diriku. Memandang matanya saja aku tak berani. Selama ini aku merindu untuk diri sendiri, dan hari ini kamu menanyakan hal yang kebenarannya pun tak sanggup aku iyakan. Padahal jika mulut ini cukup berani untuk bicara, segala akan tuntas sudah. Tak ada lagi ekor-ekor mata yang berusaha mengikuti langkahmu yang terlampau jauh untuk kugenggam sendiri. Merasa takut untuk terus membisu. Takut untuk menghilang, lalu dilupakan.

Masalah selesai, 
kotak rahasiaku akan terbuka untuk seseorang yang kusimpan begitu lama di dalamnya.

"Jangan menunggu lagi."

Responku payah, tapi buah pikir kepalaku mendengung keras,
...

mungkin waktu itu aku tidak menunggu sendirian.

Senin, 17 Maret 2014

Gelap, terlalu gelap.

Suatu hari, ada sepasang mata menerawang yang ingin didengarkan, dia berbicara dengan suara pelan.

"Entah kenapa, sejenak saya ingin kabur. Rasanya, kaki saya semakin jalannya semakin mengawang. Tak tahu arah. Mungkin saya sedikit terpengaruh ucapan teman saya, 

'Saya nggak nyaman disini,'

Saya akui. Saya merasakan hal yang sama dari awal. Tapi hebatnya, ucapan teman saya hari itu benar-benar terpikirkan sampai saat ini. Begitu saya tidak suka dengan apa yang ada disekitar saya sekarang. Saya rindu untuk menjadi kembali nyaman.

Tanpa saya sadari, mungkin sekarang saya sedang merasa luar biasa takut. Karena semuanya terasa kosong. Mungkin ada yang salah dengan saya. Saya menyimpan semuanya terlalu banyak, terlalu lama, sampai tak terasa apa-apa. Akhirnya semuanya tak terselesaikan, berakhir ditelan senyap.

Saya merindukan hal yang tak pernah saya genggam, dan hal itu hanya membuat saya meringis. Payah. Meneriakkannya, lalu menangis, pada diri saya sendiri.

Apa saya sebegitu parahnya, sampai orang lain tak bisa melihat?"

Aku hanya bisa diam.
Diam-diam, masuk ke dalam senyapnya.

Rabu, 05 Maret 2014

Sekilas.


Kita saling menatap,
tapi pura-pura tak mengenal,
lalu membuang muka,
dengan bayangan masih di mata.

Senin, 10 Februari 2014

Mati.

Untuk bayang-bayang yang tak pernah teraih,
untuk waktu yang terus tersisih,
untuk semua kata yang pernah terdengar,

aku pernah hidup untuk itu semua.

Dan sekarang aku akan mati,
untuk hidupku yang lain.

Jumat, 24 Januari 2014

Belum sampai.

Gelap memelukku, erat.
Dia membisikkan sesuatu, lembut.
Angin tidak suka,
lalu membiarkan suara itu meredam hilang.

Tibat-tiba cahaya membutakan mataku.
Sudah tidak ada Gelap.
Namun aku belum sempat bertanya,
apa yang kamu katakan?

Minggu, 19 Januari 2014

Waktunya pulang, lalu pergi.


Rasanya tidak semenggembirakan seperti apa yang aku pikirkan sebelumnya. Hal itu mengejutkanku. Ada yang salah, dan aku mencari titik rancu itu. Aku mengenal baik semuanya. Apa yang ada di depanku. Terlalu baik. Mungkin, itu lah yang membuatku takut.

Aku takut untuk pulang.

Tidak ada rumah yang sama untuk singgah. Rasanya berbeda. Apa yang aku lihat, yang aku dengar, semuanya nampak berbeda. Asing. Seperti bau benda baru yang tidak menyenangkan. Aku tidak nyaman disana. Mendengar suara-suara yang saling menyapa, tak terseling ada namaku. Senyum yang mengembang dibibirku hanya membentuk satu garis lurus yang tidak bertahan lebih dari lima detik.

Dingin.

Akan menjadi rekor buatmu untuk bisa membuatnya bertahan lebih lama sambil menyelimuti aku dengan rasa nyaman layaknya sebuah rumah yang aku rindukan. Rindukan untuk pulang, untuk berdiam lama didalamnya. Menolak untuk kembali keluar dari pintu yang sama. Hanya melihat jalan setapak dari jendela besar, berharap tidak kembali menelusurinya.

Nyatanya aku hanya ingin kembali pergi.

Aku akan mencari rumahku yang lain.

Kamis, 26 Desember 2013

Nina bobo...


grab it from here

Malam ini si kecil belum mau tidur. Padahal tadi matanya sudah terlelap. Karena kebiasaannya yang tidak bisa diam, sekalipun saat tidur, kepalanya terbentur lantai. Alhasil tangisannya yang sudah akrab ditelingaku terdengar lagi. Sang Ibu cuma bisa geleng-geleng kepala. Ya ampun anak ini.

Auda sayang, ini sudah malam. Biar tantemu ini saja yang terjaga sampai lampu kamarmu redup malam ini.

Di lantai atas semuanya terdengar jelas. Bahkan suara tetangga sebelah yang ramai mengobrol bisa aku dengar dengan baik. Tapi malam ini, sunyi sekali. Sepi. Padahal jendela kamar aku buka lebar-lebar. Hanya ada suara angin yang merayu untuk menutup mata. Dingin. Bergerumul dalam selimut, katanya. Akan aku buai kamu dalam tidur yang nyenyak.

Mataku memang sudah kian berat. Tapi aku masih belum mau tidur. Malam masih panjang. Entah apa yang aku tunggu. Aku ingin bicara, dengan siapapun. Detik-detik jam yang terdengar saja tidak mau bersahabat denganku. Dia terus-menerus menunjukan waktu yang tak mau berhenti. Tak mau tahu kalau majikannya ingin bermalas-malasan. Dengan angkuhnya dia membusungkan jarum-jarum pada angka yang terus bergerak seakan berkata, 'aku tidak berhenti, lakukan sesuatu yang berguna sebelum aku benar-benar bisa berhenti!'.

Andai malam bisa menyanyikan lagu nina bobo. Dengan senang hati aku akan terlelap ditengah pelukan langit gelap berselimutkan awan. Bintang-bintang yang mempunyai telinga besar untuk mendengarkan banjiran kata-kata yang mendesak ingin keluar dari mulutku. Tersenyum mengiyakan, sampai akhirnya aku lelah, lalu tertidur begitu saja.

Tidak perlu ada lagi pertanyaan kan?

Begitu katanya.

Tidurlah. Sudah malam, sayang.