Senin, 31 Agustus 2015

Desember di bulan Agustus.


Ini Efek Rumah Kaca, Cholil sang vokalis, sedang menyanyikan lagu Desember. Salah satu lagu favorit saya, yang akhirnya bisa saya lihat secara langsung. Epic!

Senin, 17 Agustus 2015

Tiga

"Hai."

Tiga huruf itu yang keluar dari mulutnya. Hanya tiga huruf. Tiga huruf pertama setelah tiga tahun aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Tiga huruf yang selalu aku tunggu-tunggu hingga rasanya ingin meledak. Butuh waktu lebih dari tiga detik bagiku untuk bisa mencerna apa yang terjadi. Ketiga temanku terdiam, menatapku, menunggu reaksiku. Mungkin sekarang ada lebih dari tiga bom reaktif yang menyala dengan otomatis dalam tubuhku ketika momen ini tiba. Jarak kami tidak lebih dari tiga pangkal jari. Aku bisa merasakan jantungku berdegup begitu kencang, dug dug dug.

Di tengah kebingunganku, makanan pesanan ketiga temanku datang. Pelayan datang sambil membungkuk kecil, lalu menaruh makanan di meja kami, meja nomer tiga. Temanku menyenggol tanganku sambil menunjuk jam tangannya, sekarang sudah hampir jam tiga sore. Tiga puluh menit lagi kelas kami akan dimulai. Selain itu kelas sore ini ada di lantai tiga, kami diburu waktu.

Aku mendongak, dia masih disana, masih meninggalkan sapaan tiga hurufnya. Berusaha mengontrol diri, aku menjawab dengan tiga kata sopan, "Hai, apa kabar?". Belum sempat menjawab, aku melihat sosok perempuan yang berjalan mendekati meja nomer tiga. Perempuan itu menepuk bahunya, mengatakan bahwa film yang mereka tonton akan dimulai tiga menit lagi. Dia mengangguk, lalu menoleh, "Sampai nanti ya,", mengucapkan tiga kata terakhirnya.

 Aku menelan ludah, ini tiga menit terbodoh dalam hidupku.

Jumat, 12 Juni 2015

Malam milik Ibu.

Malam itu, Ibu belum tertidur. Sudah tidak ada yang terjaga. Bapak sudah dikelabui lelah. Ketiga anaknya pun saat ini pasti sudah tertidur ditempatnya masing-masing. Tak terjangkau tangannya, tapi ia yakin mereka beristirahat dengan nyaman, dilindungi hangatnya selimut dan buaian mimpi. Tapi Ibu belum tertidur, matanya masih terjaga.

Tangannya mematikan lampu dapur. Semua sudah bersih, semua sudah beres. Kantuk mulai menyerang, tapi ia masih belum ingin tidur. Sebentar.. biarkan badan ini beristirahat di kursi panjang ruang keluarga.

Jarinya meregang. Rasa pegal yang sudah ia kenal menyapa. Ibu menghela napas sembari berpikir, ah begini lagi. Sambil memijit-mijit tangan kanannya, matanya mengelilingi ruangan. Sepi, tidak seramai dulu. Rumah ini semakin sepi. Perlahan, kakinya bergantian memasuki tiga ruangan kosong dalam rumah. Kamar ketiga anaknya. 

Kakinya berhenti di kamar terakhir. Ibu menyalakan lampu kamar, lalu duduk disisi tempat tidur. Matanya berkeliling, tersenyum. Ketiga kamar anaknya tak berdebu, tapi baunya sudah berbeda. Tangannya sudah seringkali merawat ketiga kamar itu, tapi tetap saja kelihatannya berbeda. Tak ada ketiga anak yang dicintainya disana. 

Ibu merindu. Hatinya bersyukur bahwa ia dapat melihat ketiga anaknya tumbuh dewasa, namun seringkali ia ingin menjadi egois. Bahwa mereka akan tetap disana untuknya, untuk Bapaknya, untuk mereka berdua. Tapi apa daya, lembaran baru dalam kehidupan mereka tak akan mengijinkannya untuk berlaku egois. Mereka punya hidup baru, dimana ia bukan menjadi pemeran utamanya.

Ibu tidak apa-apa. Bapak tidak apa-apa. Karena mereka tak pernah menuntut apa-apa.

Dalam hati Ibu bersyukur, saat ini bukan menjadi hal yang sulit untuk bisa menghubungi anak-anaknya. Walaupun hanya sekedar menanyakan kabar. Yang penting untuknya adalah mendengar dengan telinganya sendiri bahwa mereka sehat, bahagia, dan hidup dengan baik. Ibu masih bisa tersenyum dan tertawa mendengar suara anak-anaknya dari ujung telepon. Apapun caranya.

Matanya semakin berat. Ibu bangkit dari tempatnya singgah, menepuk-nepuk sprei yang kusut, lalu berjalan mematikan lampu. Rumahnya semakin kosong. Rumah sederhana ini terasa begitu besar dan sepi. Tapi Ibu bisa menahan rindu, hari Raya akan datang membawa anak-anaknya pulang.