Terlalu banyak senyum yang dipaksakan, menguar terlalu banyak tawa. Bahkan meluapnya kata yang terurai tetap saja tidak bisa menjabarkan apa yang sebenarnya terpeta dikepala. Kaki yang berjalan pun langkahnya semakin pendek dan tidak terarah, begitu lamban bergerak, menunggu tuntunan jalan seperti orang buta.
Mungkin isi kepalanya harus dicabut, atau diisi ulang mungkin lebih mudah. Mencekokinya dengan nyanyian-nyanyian sendu pun tak akan memancing suara sumbang dari mulutnya. Paling-paling kepalanya hanya bergerak ke kiri dan kanan, mengikuti irama, seakan mengerti apa yang tengah didendangkan. Padahal itu hanyalah lagu kebodohan yang dinyanyikan para pengendali boneka yang terus menyeringai dari balik panggung.
Harus ada perempuan bersayap putih untuk menamparnya dan melepas topengnya yang buruk rupa. Menuntunnya dibalik jalan pulang, menghiraukan apa yang selalu berbisik manis ditelinga. Perkenalkan apa yang seharusnya dia jadikan teman. Terlalu banyak kebaikan akan membuatnya bodoh, keburukan akan membuatnya seperti badut tak berkepala.
Dia seperti peta yang memiliki tujuan yang bercabang, tapi tidak mempunyai jalan. Dia terus mengintip peta disebelahnya, terus tersesat, tapi menutup matanya. Berkali-kali sakit, tapi dihiraukan. Hanya bangga yang ingin didapatkan, bangga yang semu.
Entah kepalanya sudah kembali waras atau tidak, tapi kakinya belum berhenti melangkah.