Suara semakin bising terdengar. Kata waktu, ini bukan untuk saya. Jengah. Hati terus menerus melirik ego yang meluap-luap sampai buih panasnya bisa membakar muka yang menahan senyum. Kali ini menunggu tak berbayar. Alasan untuk suatu jawaban. Ah, mendengarkannya saja sudah pahit apalagi untuk menengok ke balik bahunya. Senyum, jangan lupa tersenyum. Walaupun kaki dibawah meja tak henti menghentak tanah. Seakan ingin meredam bunyi yang menyesakkan.
Saat pintu lain terbuka, barulah mata ini beralih. Ah, silau. Agak susah untuk melihat apa yang ada didalamnya. Kamu punya kacamata hitam? Saya mau pinjam, mungkin bisa membantu saya untuk melihat lebih jelas.
Celotehan itu semakin terdengar seperti hembusan angin yang tak berarti apa-apa. Akan ada badai di luar sana, dan hanya kami yang punya kaki sekuat besi menancap tanah yang bisa melaluinya. Saya punya, hampir punya. Saatnya membuang pikiran nyalang yang menghalangi otak ini untuk bekerja. Ada yang harus saya asah, setidaknya untuk tahu bahwa saya bisa hidup sebagai orang yang bertahan, tak terimbas angin yang bergulung. Saya harus menunggu lagi, sambil berlari. Dan waktu berdentang, menandakan kesempatan.
Akhirnya.