Sosoknya seakan memenuhi ruangan. Auranya begitu kontras menguasai dinding ruangan yang berwarna cokelat gelap. Kalau aku bisa mengungkapkannya dengan warna, mungkin dia oranye. Begitu menyilaukan, namun kali ini aku ingin menutup mata.
Tentu, dia
tau benar bahwa warnanya oranye.
Langkah kakinya
memutariku yang masih menutup mata. Aku mulai merasa tak kerasan. Mataku sudah
begitu berat. Rasanya ingin meninggalkan ragaku disini dengannya, sedangkan
jiwaku mengendap diam dalam keheningan. Aku butuh ruangan kosong untuk
bersembunyi sejenak.
Kurasakan tangannya
mengelus pipiku dengan perlahan. Refleks kepalaku bergerak mengikuti arah
tangannya. Mataku mengerjap. Bibirnya memenuhi pandanganku. Ekor mataku
menelusuri jejak parasnya. Dia menatapku lekat-lekat, terlihat ingin
diperhatikan.
Aku akan
memuaskan kebutuhannya untuk diperhatikan saat ini. Karena tak lama lagi sudah
dipastikan aku sudah dibuai tidur. Namun dia paham benar kalau kali ini aku
setengah-setengah. Kudengar hembusan nafas kesalnya.
Kakinya menghentak
keras. Sekaligus menghentak kepalaku. Sosok oranye itu memadamkan aura
menyilaukannya. Tanda bahwa dia tengah didekap rasa kesal, dan lagi-lagi aku
yang menjadi penyebabnya. Rasa bersalah mengisi relung, namun apa daya. Hanya kecewa
yang dapat kubawa.
Aku memaksa
kakiku untuk bergerak, mengikuti jejaknya yang makin menghentak. Saat dia
marah, langkahnya begitu lebar namun tak cukup cepat untukku. Aku tahu dia
sengaja, aku tahu dia ingin dikejar.
Kuputar bahunya,
menangkap parasnya, lalu mencium keningnya.
Matanya mengerjap,
menunggu alasan yang lain.
“’Ras,
maafin Ayah ya. Ayah pulang kemalaman dan sekarang capek sekali.. Besok Raras boleh deh ajak main Ayah sepuasnya, tapi malam ini Ayah mau istirahat dulu.. boleh
ya?”
Bibirnya membentuk
kerucut menggemaskan. Sama persis dengan Ibunya. Aku tahu dia akan selalu
mengerti, namun rasa kesal memang tak hilang secepat kerjapan matanya. Bola matanya
memutar keatas, tengah mempertimbangkan sebuah kompensasi.
“Ayah janji.
Awas aja kalo Ayah bohong sama Raras,”
Aku
tersenyum. “Ayah janji kok,”
Mata lelahku
kembali menangkap auranya yang menyilaukan seiring mengembangnya lengkungan
garis bibir gadis mungil dihadapanku. Kalau aku bisa mengungkapkannya dengan
warna,
mungkin dia
oranye.