Lagi-lagi telah dibuai Malam.
Tak ada belaian angin, terlalu panas kata Malam. Aku berseloroh sambil mengipas-ngipas, "Kalah kamu dengan Matahari? Masa dibawanya saja panas ini!"
Malam tak menampik. Masih berusaha menyandarkan punggung gelapnya dengan posisi nyaman, sebisa mungkin tak memberikan celah gelapnya terisi dengan yang lain. Matanya melirik malas, lalu meniup-niupku pelan. "Biar Hujan yang mengurusnya, bersyukurlah Matahari masih mau memberikan waktunya untukku."
Aku tertawa mendengar suaranya yang seakan sudah tak ambil pusing. Bayanganku tentang Matahari memenuhi mata. Sengatannya sudah keterlaluan, membuatku senewen seharian. Lagi-lagi aku mengeluh. "Aku benci sinar kuningnya. Aku bahkan tidak bisa memandang lurus."
Tiupan Malam membelai tiap helai rambutku diselingi tawanya, "Kau akan merindukan hangatnya jika aku terlalu lama disini,"
"Aku menyukaimu,"
"Kau akan membenciku karena kegelapan,"
Butuh tiga detik bagiku untuk bisa menjawab pernyataannya. "Kau benar. Aku benci gelap,"
"Sekalipun aku menghadirkan bintang dan bulan?"
"Tak usah kau pikirkan," aku mencoba mengelak, mulai tak menyukai arah pembicaraan, "aku selalu menyukaimu,"
Ini waktu favoritku. Meluruskan punggung, membiarkan sisi-sisi tubuhku beristirahat. Membuka jendela kamarku lebar-lebar, mendongakkan kepala sambil ditemani Malam yang selalu melongokkan kepalanya dari atas atap rumah. Mengalirkan obrolan santai mengenai hari ini, sekedar bercerita bahkan mengumpat. Entah kenapa dia mau mendengarkan. Mungkin karena kami sama-sama bosan.
"Akhir-akhir ini jendela kamarmu tertutup. Apa yang kau lakukan?"
"Aku berusaha untuk belajar," ucapku acuh, "tapi mengurung diri seperti itu hanya membuat kepalaku menjadi penat,"
"Bukakan saja jendelamu. Aku tak akan mengganggu."
"Jika aku menutup mataku, dan membukanya ditempat lain, apakah aku akan melihatmu sama seperti hari ini?"
Malam tak langsung menjawab. Posisinya saat ini ternyata membuat punggungnya semakin tak nyaman. Ia menggeliat, mencari posisi. Menjadikan bintang-bintang kecil itu sedikit menggumam kesal lalu meninggalkan posisi awalnya. Malam meminta maaf seadanya lalu kembali membelaiku dengan tiupan kecilnya.
"Tentu. Apa yang akan berubah? Malam akan tetap menjadi Malam. Malam adalah dimana kau menemukan gelap. Sekalipun kau berpindah ke tempat yang kau tak tahu namanya apa,"
"Sekalipun aku pergi dengan tanpa membuka mata?"
Malam tertegun. Aku bisa merasakan dia tak nyaman. "Tidurlah, kamu manusia yang selalu mengeluh. Jangan mendahului waktu. Aku akan menitipkan pesan pada Matahari agar tak menyengatmu dan membuat otakmu sama panasnya dengan siang hari."
Aku tertawa, "Selamat Malam,"
Suara Malam menenangkanku, membuat kelopak mataku tertutup terbuai kantuk.
"Tidurlah kamu, yang menemani Malam."