"Iya, Bu Dian. Anjar memang pendiam anaknya. Sampai-sampai saya sendiri juga suka takut. Kok anak ini diam saja,"
"Enak kali, Bu, anak kayak gitu. Enggak pusing. Gampang diatur!"
Aku
mengangguk, berusah mengalihkan perhatianku kembali pada sesosok
wanita didepanku yang tengah mengoceh seru tentang perjalanan
liburannya ke Eropa. Aku menghela napas. Entah kenapa hatiku terasa
gundah. Waktu terus bergulir dan omongan Ibu itu masih belum berhenti.
Mulutnya seperti mesin pemotong rumput yang terus memotong waktu tanpa
ia sadari. Aku sendiri tidak mengerti inti dari kedatangan Ibu Dian
datang kerumahku. Nyonya kolongmerat itu bukan seseorang yang suka
beramah tamah dengan tetangganya, kecuali memang dia benar-benar ada
keperluan mendesak. Sekali lagi mataku mengerling Anjar yang masih saja
menunduk, diam selama berjam-jam disebelahku sambil terus menggambar.
Tangannya sudah kotor dengan warna krayon yang membuyar diberbagai
sisi. Mulutku membentuk senyuman kecil, bisa saja Anjar terlihat
seperti memakannya jika aku tidak memperhatikannya dengan jelas.
"Nah,
Jeng... sepertinya ada satu cerita lagi yang terlewat ya,"
Jari-jarinya berbalut kuteks tampak memantulkan sinar cahaya lampu yang
berpendar diruangan itu. Bibirnya membentuk seringai kecil yang entah
mengingatkanku dengan nenek sihir jahat yang ada dicerita dongeng. Tapi
aku berusaha untuk tetap mendengarkan.
"Ya? Silakan saja bercerita, Bu,"
Mulutnya baru saja terbuka saat pintu diketuk. Aku menoleh. "Ah, sudah pulang?"
Itu
suamiku. Wajahnya terlihat lelah tapi senyumnya masih tampak saat dia
memandangku. Namun entah kenapa matanya dengan cepat beralih pada sosok
yang ada disebelahku. Ekspresinya membeku sesaat dan terlihat...
takut? Aku berusaha mengenyahkan pikiran itu lalu buru-buru
mengampirinya. "Ibu Dian sudah kenal suami saya? Dia sekarang bekerja
di tempat yang sama dengan Ibu dulu kalau saya tidak salah,"
Lagi-lagi
senyum itu. Senyum memuakkan itu. Suamiku bergerak tak nyaman
disampingku. Aku membiarkan genggamanku terlepas lalu dia pergi menuju
ruangan lain. Senyum di bibir merahnya merekah semakin lebar lalu dia
hanya berbisik kecil, "Suamimu... menyenangkan."
Alisku
bertaut bingung lalu yang aku tiba-tiba saja Anjar mengerang. Lalu aku
baru melihat gambarnya dengan jelas saat ini. Seperti sumur tak
berujung yang gelap, yang sisi-sisinya tampak membara. Aku bergidik
ngeri. Ada apa?
***
"Meninggal?"
Mataku
yang sembab melebar tak percaya. Seseorang menepuk pundakku lalu
mengangguk kecil. Aku tak percaya. Ada apa dengan ini semua?
Sambil
memandang badan kaku yang telah diselimuti kain putih yang bersih, aku
terus berpikir. Mereka meninggal disaat yang sama. Di tempat yang
berbeda. Dengan cara yang sama. Dan hanya berselang beberapa jam.
Keracunan makanan, itulah yang dikatakan Polisi. Makanan yang terakhir
dimakan suamiku adalah makanan buatanku, apa aku begitu bodoh sampai
bisa memasukkan bahan mematikan untuk suamiku sendiri? Ibu Dian pun
meninggal dengan alasan yang sama saat dia baru saja sarapan
dirumahnya. Pembantunya baru saja digiring Polisi dari rumah mewah itu
untuk penyelidikan lebih lanjut. Apa nasibku akan sama? Menjadi
tersangka pembunuhan untuk suamiku sendiri?
"Mah?"
Aku
menoleh. Anjar, anakku. Aku mengecup dahinya dengan sayang. Aku
merasakan rasa yang berbeda, pahit. Aku mengerutkan kening lalu menilik
dahinya. Krayon. Aku melihat dibalik punggungnya dia menyembunyikan
sehelai kertas lainnya. Aku mengambilnya. Anjar tertawa lalu pergi.
Gambarnya
sederhana. Dua kotak persegi panjang berwarna hitam. Di kotak pertama
tergambar gambar muka seorang laki-laki diatasnya dan dikotak lainnya
tergambar muka seorang perempuan yang bibirnya bercap bibir merah. Entah
kenapa aku menjadi penasaran. Perlahan aku meninggalkan ruang tengah
yang masih dipenuhi sanak keluarga dan tetangga yang tengah berbela
sungkawa. Aku menuju kamar. Kuraih kemeja suamiku. Ada cap bibir merah
disana.
Aku
semakin penasaran. Kubuka laci meja, kuambil HP suamiku. Cek kotak
masuk pesannya. Tidak ada yang aneh. Kuputuskan untuk melihat ke kotak
terkirim.
Terimakasih untuk malam ini wanita berbibir merahku.
Kurasakan
badanku bergetar. Pintu terbuka, aku hampir saja terlonjak. Anjar ada
disana. Tersenyum lebar sambil mengasongkan botol kecil hitam.
Sekarang aku mengerti.
penulismanda.blogspot.com