Saat ini didepanku ada seorang gadis. Wajahnya tertunduk, kedua tangannya saling mencengkram, rambutnya hampir menutupi seluruh sisi wajahnya, dan ya, ia menangis. Aku bukan penghibur yang baik, karena itu aku lebih memilih untuk tetap diam dan sesekali menepuk pundaknya. Aku menggigit bibir. Aku mengalaminya.
Dalam hati aku bergumam, untunglah kamu bisa menangis. Untunglah kamu bisa bercerita. Bahkan mungkin kalau kau tak segan, berteriak didepanku agar hal menyesakkan dadamu itu melebur keluar bersamaan dengan tarikan nafasmu. Kamu masih beruntung, sungguh.
Bukannya bergerumul dengan hal yang sama setiap hari, berusaha terbangun dengan sisa-sisa tangis yang bahkan tak bisa dirasakan, menutup mulut, hidup seperti tak ada apa-apa yang salah dengan harimu. Menjadi melelahkan, karena berlari pun tak akan ada bedanya.
Lamunanku buyar. Aku berusaha tersenyum ketika gadis itu mendongakkan kepalanya. Gadis itu tersenyum kecil, lalu mengambil sapu tangan yang kusodorkan. Dia bergumam maaf, yang kuindahkan. Untuk apa meminta maaf jika memang itu yang kamu butuhkan. Aku menggeleng, hanya menjawab tak apa. Lamat-lamat kupandangi gadis itu. Terdengar konyol, tapi kudapati rasa iri.
Gadis itu akhirnya tertawa. Sekali lagi meminta maaf. Dia bercerita lagi, tapi tapi tak lama. Gadis itu memelukku lama, mengucapkan terimakasihnya lebih dari kata-kata. Masih kurasakan dada gadis itu menahan tangisnya, tapi kali ini ia tutup dengan senyum kecil. Senyumnya cantik, mungkin karena lega yang dirasa. Akhirnya gadis itu pergi, meninggalkan jejak kaki yang tak berbekas diruangan. Meninggalkan aku, yang masih sibuk dengan pikiranku sendiri.
Hei,
Saat ini aku butuh kamu, yang bisa mendengarkan, bisa menepuk bahu, membiarkanku menangis, lalu memelukku. Tidak usah berkata bahwa 'semua akan baik-baik saja', tapi memberiku keyakinan bahwa kamu selalu ada disana. Menopang kerapuhanku. Mengusap kepalaku. Menenangkan aku. Barulah kamu bisa bilang, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Masalahnya,
kamu dimana?
Masalahnya,
kamu dimana?