Kamis, 03 Juli 2014

Oranye.


Sosoknya seakan memenuhi ruangan. Auranya begitu kontras menguasai dinding ruangan yang berwarna cokelat gelap. Kalau aku bisa mengungkapkannya dengan warna, mungkin dia oranye. Begitu menyilaukan, namun kali ini aku ingin menutup mata.

Tentu, dia tau benar bahwa warnanya oranye.

Langkah kakinya memutariku yang masih menutup mata. Aku mulai merasa tak kerasan. Mataku sudah begitu berat. Rasanya ingin meninggalkan ragaku disini dengannya, sedangkan jiwaku mengendap diam dalam keheningan. Aku butuh ruangan kosong untuk bersembunyi sejenak.

Kurasakan tangannya mengelus pipiku dengan perlahan. Refleks kepalaku bergerak mengikuti arah tangannya. Mataku mengerjap. Bibirnya memenuhi pandanganku. Ekor mataku menelusuri jejak parasnya. Dia menatapku lekat-lekat, terlihat ingin diperhatikan.

Aku akan memuaskan kebutuhannya untuk diperhatikan saat ini. Karena tak lama lagi sudah dipastikan aku sudah dibuai tidur. Namun dia paham benar kalau kali ini aku setengah-setengah. Kudengar hembusan nafas kesalnya.

Kakinya menghentak keras. Sekaligus menghentak kepalaku. Sosok oranye itu memadamkan aura menyilaukannya. Tanda bahwa dia tengah didekap rasa kesal, dan lagi-lagi aku yang menjadi penyebabnya. Rasa bersalah mengisi relung, namun apa daya. Hanya kecewa yang dapat kubawa.

Aku memaksa kakiku untuk bergerak, mengikuti jejaknya yang makin menghentak. Saat dia marah, langkahnya begitu lebar namun tak cukup cepat untukku. Aku tahu dia sengaja, aku tahu dia ingin dikejar.

Kuputar bahunya, menangkap parasnya, lalu mencium keningnya.

Matanya mengerjap, menunggu alasan yang lain.

“’Ras, maafin Ayah ya. Ayah pulang kemalaman dan sekarang capek sekali.. Besok Raras boleh deh ajak main Ayah sepuasnya, tapi malam ini Ayah mau istirahat dulu.. boleh ya?”

Bibirnya membentuk kerucut menggemaskan. Sama persis dengan Ibunya. Aku tahu dia akan selalu mengerti, namun rasa kesal memang tak hilang secepat kerjapan matanya. Bola matanya memutar keatas, tengah mempertimbangkan sebuah kompensasi.

“Ayah janji. Awas aja kalo Ayah bohong sama Raras,”

Aku tersenyum. “Ayah janji kok,”

Mata lelahku kembali menangkap auranya yang menyilaukan seiring mengembangnya lengkungan garis bibir gadis mungil dihadapanku. Kalau aku bisa mengungkapkannya dengan warna,

mungkin dia oranye.

Selasa, 01 Juli 2014

Bertemu dengan Rumah & Takut


Malam kembali menunjukkan sosoknya. Lampu-lampu mulai memancarkan cahaya guna membohongi gelap. Suara yang terdengar tak seramai siang tadi. Hanya ada gesekan kayu tanda pintu yang terbuka, memberikan jalan bagi penghuninya yang ingin keluar sejenak dari rasa pengap pada ruangan kotak yang membungkus rapi kepala mereka. 

Nona itu, dengan tubuh mungilnya, menyandarkan lengannya pada bibir jendela. Menatap kekosongan, karena yang dilihatnya hanyalah apa tengah ia pikirkan. Waktu tak pernah bisa bohong, usianya sudah terpampang nyata, meminta pertanggungjawaban. Lagi-lagi semuanya jatuh satu-persatu dengan diam-diam. Nona tak sadar bahwa sudah tak pantas lagi ia memandang dengan acuh. Kaki ini minta digerakkan, tangannya diuji untuk menciptakan karya fantastis, rupa ini menuntut untuk dikenal orang-orang dari ruangan kotak.

Selamat datang. Itu katanya.

Nona mendengus pelan. Ia tak suka dengan kata-kata itu. Tak disangkalnya bahwa hanya takut yang ia punya sekarang. Langkahnya masih belum menentu, masih belum tahu pintu mana yang akan membawanya menuju apa yang ingin ia rengkuh. Rasanya seperti berjalan pada jembatan yang lebarnya tak hampir setengah dari telapak kakinya. Semuanya mengambang tak pasti. Hanya akan membuat tubuhnya jatuh pada jurang yang menampakkan kegelapan yang luarbiasa pekat.

Bahunya ditepuk pelan, berusaha mengantarkan kepercayaan. Nona semakin tertunduk dalam. Ia butuh tangan untuk menuntunnya. Nona tak mau melihat apa yang ada didepannya, karena ia tidak mau melihat gelengan kepala itu. 

Semilir angin mengantarkan dingin yang menusuk tiap senti kulitnya yang meregang, tapi bukan karena dingin. Tapi karena sekarang Nona tak kuat untuk menahan ketakutannya sendiri. Takut itu jahat, memakanmu bulat-bulat tanpa menyisakan apapun. Lalu kamu akan percaya bahwa apa yang kamu lakukan hanya akan membuat kaki-kaki kecil itu membuat tanda ditempat yang sama. Tak akan pernah bergerak. 

Karena takut yang paling menakutkan adalah menjadi hilang.

Tangan itu menyusup ke tiap jarinya. Nona akhirnya memandang mata itu. Angin tak lagi mengantar dingin, sekarang ia merasa hangat mengalir ke sekujur tubuhnya. Entah bagaimana caranya, akan selalu ada tangan yang menuntunmu, itu katanya.

Jadikan semua ini adalah alasan bagimu untuk pulang.

Tangan itu mendekap jemarinya semakin kuat. Nona menggigit bibirnya. Tak akan ada yang tahu kemana ia akan pulang. Bahkan definisi rumah baginya pun sekarang sudah berubah. Bukan lagi ruangan kotak yang sekarang ia tinggali seperti orang-orang lainnya. Namun sesuatu yang dapat menarik hatinya untuk kembali merindu, menyerahkan dirinya akan sesuatu, berlindung sejenak dari panggung hidup yang tak lelah menuntutnya untuk terus tersenyum diluar sana. Untuk menjadi dirinya, untuk menjadi lemah.

Jari-jari itu sekarang meregang keluar dari setiap ruang kosong diantara jari milik Nona. Kakinya melangkah maju, menutup jendela yang mengantarkan pemandangan malam. Sejenak sosoknya diam disana cukup lama. Lalu dia menoleh, berbicara pelan. Aku punya rasa takut yang sama, bahkan lebih besar. Langkahku diiringi takut, semakin besar langkahnya, semakin besar bayangan hitamnya.Tapi aku tahu,

kamu bisa hidup berdampingan dengan takutmu.

Nona memandang bingung. Kedua alisnya bersatu membentuk jembatan kecil menuju rasa herannya. Rasa penasaran mengusiknya dari balik mata. Wajah yang ada didepannya hanya tersenyum, tersenyum menenangkan. Mengusap pelan rambutnya.

Tidurlah, tidur. Kelak kamu akan menemukan rumahmu, bersama dengan takutmu.