Jumat, 07 November 2014

Ditemani Malam.

Lagi-lagi telah dibuai Malam.

Tak ada belaian angin, terlalu panas kata Malam. Aku berseloroh sambil mengipas-ngipas, "Kalah kamu dengan Matahari? Masa dibawanya saja panas ini!"

Malam tak menampik. Masih berusaha menyandarkan punggung gelapnya dengan posisi nyaman, sebisa mungkin tak memberikan celah gelapnya terisi dengan yang lain. Matanya melirik malas, lalu meniup-niupku pelan. "Biar Hujan yang mengurusnya, bersyukurlah Matahari masih mau memberikan waktunya untukku."

Aku tertawa mendengar suaranya yang seakan sudah tak ambil pusing. Bayanganku tentang Matahari memenuhi mata. Sengatannya sudah keterlaluan, membuatku senewen seharian. Lagi-lagi aku mengeluh. "Aku benci sinar kuningnya. Aku bahkan tidak bisa memandang lurus."

Tiupan Malam membelai tiap helai rambutku diselingi tawanya, "Kau akan merindukan hangatnya jika aku terlalu lama disini,"

"Aku menyukaimu,"

"Kau akan membenciku karena kegelapan,"

Butuh tiga detik bagiku untuk bisa menjawab pernyataannya. "Kau benar. Aku benci gelap,"

"Sekalipun aku menghadirkan bintang dan bulan?"

"Tak usah kau pikirkan," aku mencoba mengelak, mulai tak menyukai arah pembicaraan, "aku selalu menyukaimu,"

Ini waktu favoritku. Meluruskan punggung, membiarkan sisi-sisi tubuhku beristirahat. Membuka jendela kamarku lebar-lebar, mendongakkan kepala sambil ditemani Malam yang selalu melongokkan kepalanya dari atas atap rumah. Mengalirkan obrolan santai mengenai hari ini, sekedar bercerita bahkan mengumpat. Entah kenapa dia mau mendengarkan. Mungkin karena kami sama-sama bosan.

"Akhir-akhir ini jendela kamarmu tertutup. Apa yang kau lakukan?"

"Aku berusaha untuk belajar," ucapku acuh, "tapi mengurung diri seperti itu hanya membuat kepalaku menjadi penat,"

"Bukakan saja jendelamu. Aku tak akan mengganggu."

"Jika aku menutup mataku, dan membukanya ditempat lain, apakah aku akan melihatmu sama seperti hari ini?"

Malam tak langsung menjawab. Posisinya saat ini ternyata membuat punggungnya semakin tak nyaman. Ia menggeliat, mencari posisi. Menjadikan bintang-bintang kecil itu sedikit menggumam kesal lalu meninggalkan posisi awalnya. Malam meminta maaf seadanya lalu kembali membelaiku dengan tiupan kecilnya.

"Tentu. Apa yang akan berubah? Malam akan tetap menjadi Malam. Malam adalah dimana kau menemukan gelap. Sekalipun kau berpindah ke tempat yang kau tak tahu namanya apa,"

"Sekalipun aku pergi dengan tanpa membuka mata?"

Malam tertegun. Aku bisa merasakan dia tak nyaman. "Tidurlah, kamu manusia yang selalu mengeluh. Jangan mendahului waktu. Aku akan menitipkan pesan pada Matahari agar tak menyengatmu dan membuat otakmu sama panasnya dengan siang hari."

Aku tertawa, "Selamat Malam,"

Suara Malam menenangkanku, membuat kelopak mataku tertutup terbuai kantuk. 

"Tidurlah kamu, yang menemani Malam."

Senin, 06 Oktober 2014

Kepala mengangguk dengan nyanyian disekeliling badan.

Sebelumnya udah sering denger nama Payung Teduh, tapi enggak pernah tertarik buat coba denger lagu-lagunya. Kemarin baru bener-bener tau pas liat di Dago Festival. Pertama liat, langsung jatuh hati. Apalagi pas bagian mereka cuma main musik, dan yang jadi penyanyinya itu semua orang yang lagi nonton disana. Ah, keren banget, merinding dengernya. 

Dan ini lagu yang dinyanyiin penontonnya paling keras, dan yang paling nempel di kepala.
Resah.



Aku ingin berjalan bersamamu
Dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu

Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu

Aku menunggu dengan sabar
Di atas sini, melayang-layang
Tergoyang angin, menantikan tubuh itu

Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu

Ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
...

Selasa, 16 September 2014

Hmm..

Senang adalah salah satu emosi dasar yang dimiliki manusia.

Sesuatu yang tidak perlu kamu pelajari sistematikanya, karena jika saat ini aku melihat kedua sudut bibirmu melengkung, dengan kelopak mata yang lebih kecil dan kerutan samar disekitarnya, juga matamu yang kian berbinar itu, aku bisa mengatakan kamu senang.

Senangku kali ini lain. Aku menahannya dalam hati, dan membiarkannya membuncah dalam tiap lengkungan jariku yang membuahkan kata demi kata. Hei, aku rindu membual dalam kalimat-kalimat yang meledak tak karuan. Dalam satuan paragraf yang tak tentu barisannya, namun mengantarkan tiap kelokan yang bersembunyi disetiap sudut pikiran. Membuatku lega sesaat, hidup kembali dalam fiksi yang aku ciptakan melalui jari.

Aku tengah ditikung rasa malas lalu dikelabui sibuk yang pura-pura menutup waktu. Bodohi aku dengan telapak tanganmu yang menyumbat ide-ide berkeliaran tak tentu disekitaranmu. Tarik aku kembali, jangan tenggelamkan. Karena lagi-lagi, ini vakansi-ku.

Selasa, 02 September 2014

Senin, 01 September 2014

Harry Potter!


Hey, it's September 1st, and it's time to go back to Hogwarts.

Haha, random feeling waktu iseng liat tanggalan. Harusnya sekarang nunggu kereta di platform 9 3/4 buat berangkat jam 11 nanti. Semoga nggak ada Dementor atau peri rumah macem Dobby yang iseng nutup gerbangnya.


Kamis, 21 Agustus 2014

Teruntuk, waktu yang keempat.

Kita saling berdiri berhadapan, saling tersenyum terhalang angin
Aku satu, kamu satu
Kita akan menjadi dua,
saling menambahkan untuk menjadi lebih besar
Kemudian mengusir angin yang menutupi senyuman

Namun nyatanya kita hanya melengkapi,
lalu saling mengurangi
Aku satu, kamu satu
Dan kita menjadi nol

Lingkaran kosong, sekosong rasa yang hanya diisi oleh angin
Masuk ke dalam tiap rongga tubuh, melayangkan senyuman
Lalu menjadi hampa


Kamis, 03 Juli 2014

Oranye.


Sosoknya seakan memenuhi ruangan. Auranya begitu kontras menguasai dinding ruangan yang berwarna cokelat gelap. Kalau aku bisa mengungkapkannya dengan warna, mungkin dia oranye. Begitu menyilaukan, namun kali ini aku ingin menutup mata.

Tentu, dia tau benar bahwa warnanya oranye.

Langkah kakinya memutariku yang masih menutup mata. Aku mulai merasa tak kerasan. Mataku sudah begitu berat. Rasanya ingin meninggalkan ragaku disini dengannya, sedangkan jiwaku mengendap diam dalam keheningan. Aku butuh ruangan kosong untuk bersembunyi sejenak.

Kurasakan tangannya mengelus pipiku dengan perlahan. Refleks kepalaku bergerak mengikuti arah tangannya. Mataku mengerjap. Bibirnya memenuhi pandanganku. Ekor mataku menelusuri jejak parasnya. Dia menatapku lekat-lekat, terlihat ingin diperhatikan.

Aku akan memuaskan kebutuhannya untuk diperhatikan saat ini. Karena tak lama lagi sudah dipastikan aku sudah dibuai tidur. Namun dia paham benar kalau kali ini aku setengah-setengah. Kudengar hembusan nafas kesalnya.

Kakinya menghentak keras. Sekaligus menghentak kepalaku. Sosok oranye itu memadamkan aura menyilaukannya. Tanda bahwa dia tengah didekap rasa kesal, dan lagi-lagi aku yang menjadi penyebabnya. Rasa bersalah mengisi relung, namun apa daya. Hanya kecewa yang dapat kubawa.

Aku memaksa kakiku untuk bergerak, mengikuti jejaknya yang makin menghentak. Saat dia marah, langkahnya begitu lebar namun tak cukup cepat untukku. Aku tahu dia sengaja, aku tahu dia ingin dikejar.

Kuputar bahunya, menangkap parasnya, lalu mencium keningnya.

Matanya mengerjap, menunggu alasan yang lain.

“’Ras, maafin Ayah ya. Ayah pulang kemalaman dan sekarang capek sekali.. Besok Raras boleh deh ajak main Ayah sepuasnya, tapi malam ini Ayah mau istirahat dulu.. boleh ya?”

Bibirnya membentuk kerucut menggemaskan. Sama persis dengan Ibunya. Aku tahu dia akan selalu mengerti, namun rasa kesal memang tak hilang secepat kerjapan matanya. Bola matanya memutar keatas, tengah mempertimbangkan sebuah kompensasi.

“Ayah janji. Awas aja kalo Ayah bohong sama Raras,”

Aku tersenyum. “Ayah janji kok,”

Mata lelahku kembali menangkap auranya yang menyilaukan seiring mengembangnya lengkungan garis bibir gadis mungil dihadapanku. Kalau aku bisa mengungkapkannya dengan warna,

mungkin dia oranye.

Selasa, 01 Juli 2014

Bertemu dengan Rumah & Takut


Malam kembali menunjukkan sosoknya. Lampu-lampu mulai memancarkan cahaya guna membohongi gelap. Suara yang terdengar tak seramai siang tadi. Hanya ada gesekan kayu tanda pintu yang terbuka, memberikan jalan bagi penghuninya yang ingin keluar sejenak dari rasa pengap pada ruangan kotak yang membungkus rapi kepala mereka. 

Nona itu, dengan tubuh mungilnya, menyandarkan lengannya pada bibir jendela. Menatap kekosongan, karena yang dilihatnya hanyalah apa tengah ia pikirkan. Waktu tak pernah bisa bohong, usianya sudah terpampang nyata, meminta pertanggungjawaban. Lagi-lagi semuanya jatuh satu-persatu dengan diam-diam. Nona tak sadar bahwa sudah tak pantas lagi ia memandang dengan acuh. Kaki ini minta digerakkan, tangannya diuji untuk menciptakan karya fantastis, rupa ini menuntut untuk dikenal orang-orang dari ruangan kotak.

Selamat datang. Itu katanya.

Nona mendengus pelan. Ia tak suka dengan kata-kata itu. Tak disangkalnya bahwa hanya takut yang ia punya sekarang. Langkahnya masih belum menentu, masih belum tahu pintu mana yang akan membawanya menuju apa yang ingin ia rengkuh. Rasanya seperti berjalan pada jembatan yang lebarnya tak hampir setengah dari telapak kakinya. Semuanya mengambang tak pasti. Hanya akan membuat tubuhnya jatuh pada jurang yang menampakkan kegelapan yang luarbiasa pekat.

Bahunya ditepuk pelan, berusaha mengantarkan kepercayaan. Nona semakin tertunduk dalam. Ia butuh tangan untuk menuntunnya. Nona tak mau melihat apa yang ada didepannya, karena ia tidak mau melihat gelengan kepala itu. 

Semilir angin mengantarkan dingin yang menusuk tiap senti kulitnya yang meregang, tapi bukan karena dingin. Tapi karena sekarang Nona tak kuat untuk menahan ketakutannya sendiri. Takut itu jahat, memakanmu bulat-bulat tanpa menyisakan apapun. Lalu kamu akan percaya bahwa apa yang kamu lakukan hanya akan membuat kaki-kaki kecil itu membuat tanda ditempat yang sama. Tak akan pernah bergerak. 

Karena takut yang paling menakutkan adalah menjadi hilang.

Tangan itu menyusup ke tiap jarinya. Nona akhirnya memandang mata itu. Angin tak lagi mengantar dingin, sekarang ia merasa hangat mengalir ke sekujur tubuhnya. Entah bagaimana caranya, akan selalu ada tangan yang menuntunmu, itu katanya.

Jadikan semua ini adalah alasan bagimu untuk pulang.

Tangan itu mendekap jemarinya semakin kuat. Nona menggigit bibirnya. Tak akan ada yang tahu kemana ia akan pulang. Bahkan definisi rumah baginya pun sekarang sudah berubah. Bukan lagi ruangan kotak yang sekarang ia tinggali seperti orang-orang lainnya. Namun sesuatu yang dapat menarik hatinya untuk kembali merindu, menyerahkan dirinya akan sesuatu, berlindung sejenak dari panggung hidup yang tak lelah menuntutnya untuk terus tersenyum diluar sana. Untuk menjadi dirinya, untuk menjadi lemah.

Jari-jari itu sekarang meregang keluar dari setiap ruang kosong diantara jari milik Nona. Kakinya melangkah maju, menutup jendela yang mengantarkan pemandangan malam. Sejenak sosoknya diam disana cukup lama. Lalu dia menoleh, berbicara pelan. Aku punya rasa takut yang sama, bahkan lebih besar. Langkahku diiringi takut, semakin besar langkahnya, semakin besar bayangan hitamnya.Tapi aku tahu,

kamu bisa hidup berdampingan dengan takutmu.

Nona memandang bingung. Kedua alisnya bersatu membentuk jembatan kecil menuju rasa herannya. Rasa penasaran mengusiknya dari balik mata. Wajah yang ada didepannya hanya tersenyum, tersenyum menenangkan. Mengusap pelan rambutnya.

Tidurlah, tidur. Kelak kamu akan menemukan rumahmu, bersama dengan takutmu.

Rabu, 25 Juni 2014

Menunggu, bersama.


"Apa yang kamu lakukan disaat kamu menunggu?"

Berusaha mencari kamu. 
Secara nyata maupun maya.
Tanpa bayangku yang kamu sadari.

"Tidak ada kan,"

Mataku mengerjap cepat. Tak ada kata untuk menyela. Napasnya terhembus kecewa, dan aku dimakan bulat-bulat ekspresinya yang mencabik rasa percaya diriku. Memandang matanya saja aku tak berani. Selama ini aku merindu untuk diri sendiri, dan hari ini kamu menanyakan hal yang kebenarannya pun tak sanggup aku iyakan. Padahal jika mulut ini cukup berani untuk bicara, segala akan tuntas sudah. Tak ada lagi ekor-ekor mata yang berusaha mengikuti langkahmu yang terlampau jauh untuk kugenggam sendiri. Merasa takut untuk terus membisu. Takut untuk menghilang, lalu dilupakan.

Masalah selesai, 
kotak rahasiaku akan terbuka untuk seseorang yang kusimpan begitu lama di dalamnya.

"Jangan menunggu lagi."

Responku payah, tapi buah pikir kepalaku mendengung keras,
...

mungkin waktu itu aku tidak menunggu sendirian.

Selasa, 13 Mei 2014

Senin, 05 Mei 2014

May 5th, 2014.


Selamat, waktu masih menunggumu untuk menjadi lebih dewasa.
Waktu masih menjulurkan tangannya untuk kau jadikan kesempatan.
Sudah apa saja yang kamu lakukan,
itu yang akan terlintas dikepalamu.
Tapi tidak perlu ada pikiran yang memojokkan dirimu.
Dua kakimu masih bisa berjalan dengan baik, 
kedua tanganmu masih bisa menggapai langit.
Tenang saja,
waktu masih menunggu untukmu.



- untuk saya, dan umurnya yang ke sembilan belas -

Minggu, 27 April 2014

A call on sunday morning.

Lukisan Hujan mengenalkan saya dengan tokoh Diaz Hanafiah. Tipikal cowok yang selalu ada di novel teenlit. Oke di otak, tampang, dan lain lain tapi pribadinya dingin. Tipe-tipe pendiam dan agak galak. Tapi waktu ketemu Sisy Iswandaryo dia bisa jadi orang yang beda. 

Orang yang nggak biasa ngelakuin hal yang 'biasa', dan lalu dia ngelakuin hal itu, kadang jatohnya emang bikin meleleh banget. Karena itu saya suka banget sama Diaz Hanafiah.

Hari ini, saya nemu sosok kayak Diaz Hanafiah tadi.

Tadi pagi ada telepon, dan pas saya liat namanya saya kepikiran, "wah tumben banget". Waktu ngobrol kata-katanya kaku banget, tapi saya tau dia berusaha buat mencairkan suasana. Dia juga sempet ngingetin tiket Lebaran yang harus udah saya booking dan ngejaga si kamera biar lensanya nggak jamuran karena sekarang lebih sering di simpen daripada dipake.

Di akhir telepon, dia bilang,
"Oh ya udah ya. Cuma mau tau kabarnya sama lagi ngapain. Sok lanjutin nontonnya. Assalamu'alaikum,"

Saya wajab salamnya, terus saya tutup teleponnya.
Saya nggak bohong, saya heran tapi saya seneng.
Nama kontaknya masih ada di layar,

namanya 'Bapak'.

Selasa, 22 April 2014

Buku terakhirmu apa?


Semenjak pindah ke Bandung, saya sama sekali nggak bawa novel apapun gara-gara itu kangen juga buat baca. Akhirnya setiap pulang disempetin deh buat beli buku.

Rabu, 16 April 2014

Berita di televisi memberitahu kita ini.


Anak-anak itu butuh perlindungan, bukannya disiksa lalu dibunuh.
Anak-anak itu butuh kasih sayang, bukannya dijadikan objek pemenuh nafsu.
Anak-anak itu butuh ilmu, bukannya diajarkan untuk mengenal kekerasan.
Anak-anak itu butuh bermain, bukannya mengais uang untuk makan hari ini.

Anak-anak butuh dunianya.
Jangan anggap mereka sudah mengerti layaknya orang dewasa.
Biarkanlah mereka menjadi anak-anak.
Tolong..

Minggu, 13 April 2014

Tentang ulang tahun, dan kangen.

Minggu kemarin jadi minggu perayaan besar, soalnya beres UTS akhirnya bisa pulang sampe kira-kira seminggu. Gak enaknya pulang lama ini, bikin gak mau balik ke Bandung. Tapi tumben banget kan bisa pulang lama, cuma rada-rada sebel juga soalnya temen-temen nggak pada pulang. Giliran mereka pada pulang saya gak pulang, saya pulang merekanya gak pulang. Lain kali pengen deh saya yang nyamperin mereka ke kota rantauan, berhubung jadwal semester ini emang seiprit-iprit banget.

Berhubung bulan ini April, it meansss Ibu Mumun bulan ini nambah umur! Asiknya, kakak-kakak saya lagi di Cirebon semua jadi kita kompakan mau ngasih kado gitu. Tapi sedihnya, saya udah keburu pulang duluan sebelum hari H-nya itu. Dan tadi sempet live report gitu.

Tau gak? Saya sempet nangis.

Sabtu, 22 Maret 2014

Senin, 17 Maret 2014

Gelap, terlalu gelap.

Suatu hari, ada sepasang mata menerawang yang ingin didengarkan, dia berbicara dengan suara pelan.

"Entah kenapa, sejenak saya ingin kabur. Rasanya, kaki saya semakin jalannya semakin mengawang. Tak tahu arah. Mungkin saya sedikit terpengaruh ucapan teman saya, 

'Saya nggak nyaman disini,'

Saya akui. Saya merasakan hal yang sama dari awal. Tapi hebatnya, ucapan teman saya hari itu benar-benar terpikirkan sampai saat ini. Begitu saya tidak suka dengan apa yang ada disekitar saya sekarang. Saya rindu untuk menjadi kembali nyaman.

Tanpa saya sadari, mungkin sekarang saya sedang merasa luar biasa takut. Karena semuanya terasa kosong. Mungkin ada yang salah dengan saya. Saya menyimpan semuanya terlalu banyak, terlalu lama, sampai tak terasa apa-apa. Akhirnya semuanya tak terselesaikan, berakhir ditelan senyap.

Saya merindukan hal yang tak pernah saya genggam, dan hal itu hanya membuat saya meringis. Payah. Meneriakkannya, lalu menangis, pada diri saya sendiri.

Apa saya sebegitu parahnya, sampai orang lain tak bisa melihat?"

Aku hanya bisa diam.
Diam-diam, masuk ke dalam senyapnya.

Sabtu, 15 Maret 2014

It sounds sooo sweet when those 'Rockers' sang it.


I wanna live forever
Whom you realize forever means together

I hope you know
When you say it wasn’t over
For the third times
I hope you know
You make me wanna give me something, more and more

I wanna give you hold
All the time
And wear you robe
It’s just, for the pooring rain
That never end
All the time

I wanna live forever
I’m the oak tree
Forever scar the stranger

I wanna grow my hair and nails you up my life
I hope to do change your last name and be a wife

I wanna share my lungs
All the time
It’s face the sun
It’s just, like a burning pain
That i be alone
All the time

(All the Time - The S.I.G.I.T)

Rabu, 12 Maret 2014

Chris said, 'Holy shit!'


"I’m going to miss you when you go."

"I will miss you too, but you are wrong if you think that the joy of life comes principally from the joy of human relationships. God’s place this all around us, it is in everything and in anything we can experience. People just need to change the way they look at things."

"Yeah. I am going to take stock of that. You know I am. I want to tell you something. From bits and pieces of what you have told me about your family, your mother and your dad… And I know you have problems with the church too… But there is some kind of bigger thing that we can all appreciate and it sounds to me you don’t mind calling it God. But when you forgive, you love. And when you love, God’s light shines through you."

"Holy shit!"

(Into the Wild, 2007)

Rabu, 05 Maret 2014

Sekilas.


Kita saling menatap,
tapi pura-pura tak mengenal,
lalu membuang muka,
dengan bayangan masih di mata.

Rabu, 26 Februari 2014

Minggu, 23 Februari 2014


Hey, saya ada di Fiksiana,
mari mampir!

Selasa, 18 Februari 2014


"Mentari tapi kok gak pernah liat dunia..."


- kata orang yang udah jalan duluan buat liat dunia,
kepada orang yang masih duduk nyaman dibawa atap kamar

Senin, 10 Februari 2014

Mati.

Untuk bayang-bayang yang tak pernah teraih,
untuk waktu yang terus tersisih,
untuk semua kata yang pernah terdengar,

aku pernah hidup untuk itu semua.

Dan sekarang aku akan mati,
untuk hidupku yang lain.

Jumat, 24 Januari 2014

Belum sampai.

Gelap memelukku, erat.
Dia membisikkan sesuatu, lembut.
Angin tidak suka,
lalu membiarkan suara itu meredam hilang.

Tibat-tiba cahaya membutakan mataku.
Sudah tidak ada Gelap.
Namun aku belum sempat bertanya,
apa yang kamu katakan?

Minggu, 19 Januari 2014

Waktunya pulang, lalu pergi.


Rasanya tidak semenggembirakan seperti apa yang aku pikirkan sebelumnya. Hal itu mengejutkanku. Ada yang salah, dan aku mencari titik rancu itu. Aku mengenal baik semuanya. Apa yang ada di depanku. Terlalu baik. Mungkin, itu lah yang membuatku takut.

Aku takut untuk pulang.

Tidak ada rumah yang sama untuk singgah. Rasanya berbeda. Apa yang aku lihat, yang aku dengar, semuanya nampak berbeda. Asing. Seperti bau benda baru yang tidak menyenangkan. Aku tidak nyaman disana. Mendengar suara-suara yang saling menyapa, tak terseling ada namaku. Senyum yang mengembang dibibirku hanya membentuk satu garis lurus yang tidak bertahan lebih dari lima detik.

Dingin.

Akan menjadi rekor buatmu untuk bisa membuatnya bertahan lebih lama sambil menyelimuti aku dengan rasa nyaman layaknya sebuah rumah yang aku rindukan. Rindukan untuk pulang, untuk berdiam lama didalamnya. Menolak untuk kembali keluar dari pintu yang sama. Hanya melihat jalan setapak dari jendela besar, berharap tidak kembali menelusurinya.

Nyatanya aku hanya ingin kembali pergi.

Aku akan mencari rumahku yang lain.

Rabu, 08 Januari 2014

Bandung Car Free Night



Dago, 31 Desember 2013

Selasa, 07 Januari 2014

Currently, this song playing on repeat.



"...show me how to fight for now, 
and I'll tell you baby, it was easy
comin' back into you once I figured it out,
you were right here all along,

it's like you're my mirror."



Justin Timberlake - Mirrors  

Sabtu, 04 Januari 2014


taken from tumblr

"Karena bikin diri sendiri bahagia itu nggak dilarang,
then do what you love."