Jumat, 12 Juni 2015

Malam milik Ibu.

Malam itu, Ibu belum tertidur. Sudah tidak ada yang terjaga. Bapak sudah dikelabui lelah. Ketiga anaknya pun saat ini pasti sudah tertidur ditempatnya masing-masing. Tak terjangkau tangannya, tapi ia yakin mereka beristirahat dengan nyaman, dilindungi hangatnya selimut dan buaian mimpi. Tapi Ibu belum tertidur, matanya masih terjaga.

Tangannya mematikan lampu dapur. Semua sudah bersih, semua sudah beres. Kantuk mulai menyerang, tapi ia masih belum ingin tidur. Sebentar.. biarkan badan ini beristirahat di kursi panjang ruang keluarga.

Jarinya meregang. Rasa pegal yang sudah ia kenal menyapa. Ibu menghela napas sembari berpikir, ah begini lagi. Sambil memijit-mijit tangan kanannya, matanya mengelilingi ruangan. Sepi, tidak seramai dulu. Rumah ini semakin sepi. Perlahan, kakinya bergantian memasuki tiga ruangan kosong dalam rumah. Kamar ketiga anaknya. 

Kakinya berhenti di kamar terakhir. Ibu menyalakan lampu kamar, lalu duduk disisi tempat tidur. Matanya berkeliling, tersenyum. Ketiga kamar anaknya tak berdebu, tapi baunya sudah berbeda. Tangannya sudah seringkali merawat ketiga kamar itu, tapi tetap saja kelihatannya berbeda. Tak ada ketiga anak yang dicintainya disana. 

Ibu merindu. Hatinya bersyukur bahwa ia dapat melihat ketiga anaknya tumbuh dewasa, namun seringkali ia ingin menjadi egois. Bahwa mereka akan tetap disana untuknya, untuk Bapaknya, untuk mereka berdua. Tapi apa daya, lembaran baru dalam kehidupan mereka tak akan mengijinkannya untuk berlaku egois. Mereka punya hidup baru, dimana ia bukan menjadi pemeran utamanya.

Ibu tidak apa-apa. Bapak tidak apa-apa. Karena mereka tak pernah menuntut apa-apa.

Dalam hati Ibu bersyukur, saat ini bukan menjadi hal yang sulit untuk bisa menghubungi anak-anaknya. Walaupun hanya sekedar menanyakan kabar. Yang penting untuknya adalah mendengar dengan telinganya sendiri bahwa mereka sehat, bahagia, dan hidup dengan baik. Ibu masih bisa tersenyum dan tertawa mendengar suara anak-anaknya dari ujung telepon. Apapun caranya.

Matanya semakin berat. Ibu bangkit dari tempatnya singgah, menepuk-nepuk sprei yang kusut, lalu berjalan mematikan lampu. Rumahnya semakin kosong. Rumah sederhana ini terasa begitu besar dan sepi. Tapi Ibu bisa menahan rindu, hari Raya akan datang membawa anak-anaknya pulang.

Kamis, 11 Juni 2015

Aku tidak hidup untuk kamu.


taken from Tumblr

"Aku tidak menuntutmu untuk hidup, aku menginginkanmu sempurna."

Bisikan itu memenuhi telinganya, membuat bulu kuduknya merinding. Sosok perempuan itu sekarang mengelilingi tubuhnya. Bisa ia rasakan wangi khas perempuan itu. Kulitnya bisa merasakan kuku perempuan itu pelan-pelan berjalan dari arah kepala menuju tengkuknya. 

"Aku sangat berharap bisa mengerti apa yang kamu pikirkan.." Kukunya berhenti disana, tepat dibelakang kepalanya. Ia menggigit bibirnya, merasakan ketakutan menjalari tubuhnya. Gelap tak menolong, tapi malah semakin membuatnya berdegup tak karuan. Saat ini ia bagaikan domba yang bertemu serigala. Tak berdaya.

Suara nafas perempuan itu begitu nyata terdengar. Sialnya ia tak bisa melihat apa yang saat ini dilakukan perempuan itu. Saat ini ia hanya bisa duduk tak bergeming di kursinya, menanti akhir. Perempuan ini pemuja kesempurnaan. Dia hidup untuk suatu aturan yang dibuatnya sendiri, yang diyakininya akan menuntunnya pada kesempurnaan yang hakiki. Seharusnya, ia pun hidup dengan cara yang sama. Cara yang sudah ditentukan. Apa daya, aturan sudah dilanggar. Sekarang, kuku-kuku itu menjalari tubuhnya seakan-akan menyobek permukaan kulitnya untuk mengoyak tubuh.

Kuku itu sekarang berhenti di pundaknya yang bertelanjang. Menusuk, dalam. Sakitnya baru terasa. Matanya melebar, giginya menggigit bibir lebih keras, tak ada jeritan, tapi hatinya sudah berteriak kesakitan.

"Sayang.. aku tidak hidup untuk seseorang yang tidak sempurna.."

Bisikannya semakin lirih ditelinga. Sakit di bahunya sekarang bukan apa-apa dibandingkan sakit yang ia rasakan di kepala. Pantas ia merasakan pening yang membuat kepalanya terasa pecah. Karena sekarang, mungkin kepalanya sudah benar-benar pecah.