Selasa, 22 Desember 2015

"Semuanya akan baik-baik saja, kok."

Saat ini didepanku ada seorang gadis. Wajahnya tertunduk, kedua tangannya saling mencengkram, rambutnya hampir menutupi seluruh sisi wajahnya, dan ya, ia menangis. Aku bukan penghibur yang baik, karena itu aku lebih memilih untuk tetap diam dan sesekali menepuk pundaknya. Aku menggigit bibir. Aku mengalaminya.

Dalam hati aku bergumam, untunglah kamu bisa menangis. Untunglah kamu bisa bercerita. Bahkan mungkin kalau kau tak segan, berteriak didepanku agar hal menyesakkan dadamu itu melebur keluar bersamaan dengan tarikan nafasmu. Kamu masih beruntung, sungguh.

Bukannya bergerumul dengan hal yang sama setiap hari, berusaha terbangun dengan sisa-sisa tangis yang bahkan tak bisa dirasakan, menutup mulut, hidup seperti tak ada apa-apa yang salah dengan harimu. Menjadi melelahkan, karena berlari pun tak akan ada bedanya.

Lamunanku buyar. Aku berusaha tersenyum ketika gadis itu mendongakkan kepalanya. Gadis itu tersenyum kecil, lalu mengambil sapu tangan yang kusodorkan. Dia bergumam maaf, yang kuindahkan. Untuk apa meminta maaf jika memang itu yang kamu butuhkan. Aku menggeleng, hanya menjawab tak apa. Lamat-lamat kupandangi gadis itu. Terdengar konyol, tapi kudapati rasa iri. 

Gadis itu akhirnya tertawa. Sekali lagi meminta maaf. Dia bercerita lagi, tapi tapi tak lama. Gadis itu memelukku lama, mengucapkan terimakasihnya lebih dari kata-kata. Masih kurasakan dada gadis itu menahan tangisnya, tapi kali ini ia tutup dengan senyum kecil. Senyumnya cantik, mungkin karena lega yang dirasa. Akhirnya gadis itu pergi, meninggalkan jejak kaki yang tak berbekas diruangan. Meninggalkan aku, yang masih sibuk dengan pikiranku sendiri.

Hei,

Saat ini aku butuh kamu, yang bisa mendengarkan, bisa menepuk bahu, membiarkanku menangis, lalu memelukku. Tidak usah berkata bahwa 'semua akan baik-baik saja', tapi memberiku keyakinan bahwa kamu selalu ada disana. Menopang kerapuhanku. Mengusap kepalaku. Menenangkan aku. Barulah kamu bisa bilang, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Masalahnya,
kamu dimana?

Senin, 21 Desember 2015

Random thought.

Cowok seksi itu ya,
when he knows where he's good at,
dan keliatan sangat percaya diri pas nampilin hal itu.

Kamis, 12 November 2015

Bukan review film!

Hai!

Baru lagi buka blog, dan ya ampun makin tahun makin sedikit ya postingannya, makin sedih karena tahu 2015 tinggal dua bulan kurang lagi.. artinya saya makin nggak produktif menulis. Heu.

Harusnya sekarang saya belajar, karena lagi UTS, dan besok materinya pun lumayan. Tapi malem ini saya malah nonton, dan gatel buat diposting disini. Judul filmnya Eternal Sunshine of the Spotless Mind, keluar tahun 2004, yang it means, keluar pas saya baru kelas 4 SD. Pemainnya utamanya Jim Carrey sama Kate Winslet, dan saya sama sekali nggak kebayang Jim Carrey yang komedi-banget-itu-lho main film berbau drama dan, eh, ceweknya yang main Titanic kan?


taken from here

Well, I'm not gonna tell you the whole story, tapi bakal spoiler banget di akhir. Soalnya maksud saya bikin postingan ini bukan karena filmnya sih, tapi karena 'sesuatu' di endingnya.

Selasa, 20 Oktober 2015

My movie list so far.

Actually, I'm not a movie person. Kebanyakan isi download-an saya cuma Running Man doang. Tapi beberapa waktu kebelakang saya jadi lumayan nonton banyak film. Karena RM udah mulai agak garing juga dan ada dua sobat saya yang sekarang punya hobi baru, yaitu jadi 'tukang-download-film-dari-wifi-kampus', jadi terjadilah momen kopi-mengkopi film. Diantara kita bertiga bahkan kayak udah punya genre download sendiri-sendiri, kalo Nyimas cenderung sci-fi, action, sama serial Amrik dan Umi animasi, kadang action juga, dan kalo saya genre apa aja yang penting rame kecuali horor (plus drama kali ya, both of them not kind of drama-film-person).

So, here's my top favourite films so far.

Jumat, 02 Oktober 2015

Bersandar.

Aku ingin bersandar pada kamu,
tapi kamu dingin,
aku takut,
karena takut menjadi dingin.

Senin, 31 Agustus 2015

Desember di bulan Agustus.


Ini Efek Rumah Kaca, Cholil sang vokalis, sedang menyanyikan lagu Desember. Salah satu lagu favorit saya, yang akhirnya bisa saya lihat secara langsung. Epic!

Senin, 17 Agustus 2015

Tiga

"Hai."

Tiga huruf itu yang keluar dari mulutnya. Hanya tiga huruf. Tiga huruf pertama setelah tiga tahun aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Tiga huruf yang selalu aku tunggu-tunggu hingga rasanya ingin meledak. Butuh waktu lebih dari tiga detik bagiku untuk bisa mencerna apa yang terjadi. Ketiga temanku terdiam, menatapku, menunggu reaksiku. Mungkin sekarang ada lebih dari tiga bom reaktif yang menyala dengan otomatis dalam tubuhku ketika momen ini tiba. Jarak kami tidak lebih dari tiga pangkal jari. Aku bisa merasakan jantungku berdegup begitu kencang, dug dug dug.

Di tengah kebingunganku, makanan pesanan ketiga temanku datang. Pelayan datang sambil membungkuk kecil, lalu menaruh makanan di meja kami, meja nomer tiga. Temanku menyenggol tanganku sambil menunjuk jam tangannya, sekarang sudah hampir jam tiga sore. Tiga puluh menit lagi kelas kami akan dimulai. Selain itu kelas sore ini ada di lantai tiga, kami diburu waktu.

Aku mendongak, dia masih disana, masih meninggalkan sapaan tiga hurufnya. Berusaha mengontrol diri, aku menjawab dengan tiga kata sopan, "Hai, apa kabar?". Belum sempat menjawab, aku melihat sosok perempuan yang berjalan mendekati meja nomer tiga. Perempuan itu menepuk bahunya, mengatakan bahwa film yang mereka tonton akan dimulai tiga menit lagi. Dia mengangguk, lalu menoleh, "Sampai nanti ya,", mengucapkan tiga kata terakhirnya.

 Aku menelan ludah, ini tiga menit terbodoh dalam hidupku.

Jumat, 12 Juni 2015

Malam milik Ibu.

Malam itu, Ibu belum tertidur. Sudah tidak ada yang terjaga. Bapak sudah dikelabui lelah. Ketiga anaknya pun saat ini pasti sudah tertidur ditempatnya masing-masing. Tak terjangkau tangannya, tapi ia yakin mereka beristirahat dengan nyaman, dilindungi hangatnya selimut dan buaian mimpi. Tapi Ibu belum tertidur, matanya masih terjaga.

Tangannya mematikan lampu dapur. Semua sudah bersih, semua sudah beres. Kantuk mulai menyerang, tapi ia masih belum ingin tidur. Sebentar.. biarkan badan ini beristirahat di kursi panjang ruang keluarga.

Jarinya meregang. Rasa pegal yang sudah ia kenal menyapa. Ibu menghela napas sembari berpikir, ah begini lagi. Sambil memijit-mijit tangan kanannya, matanya mengelilingi ruangan. Sepi, tidak seramai dulu. Rumah ini semakin sepi. Perlahan, kakinya bergantian memasuki tiga ruangan kosong dalam rumah. Kamar ketiga anaknya. 

Kakinya berhenti di kamar terakhir. Ibu menyalakan lampu kamar, lalu duduk disisi tempat tidur. Matanya berkeliling, tersenyum. Ketiga kamar anaknya tak berdebu, tapi baunya sudah berbeda. Tangannya sudah seringkali merawat ketiga kamar itu, tapi tetap saja kelihatannya berbeda. Tak ada ketiga anak yang dicintainya disana. 

Ibu merindu. Hatinya bersyukur bahwa ia dapat melihat ketiga anaknya tumbuh dewasa, namun seringkali ia ingin menjadi egois. Bahwa mereka akan tetap disana untuknya, untuk Bapaknya, untuk mereka berdua. Tapi apa daya, lembaran baru dalam kehidupan mereka tak akan mengijinkannya untuk berlaku egois. Mereka punya hidup baru, dimana ia bukan menjadi pemeran utamanya.

Ibu tidak apa-apa. Bapak tidak apa-apa. Karena mereka tak pernah menuntut apa-apa.

Dalam hati Ibu bersyukur, saat ini bukan menjadi hal yang sulit untuk bisa menghubungi anak-anaknya. Walaupun hanya sekedar menanyakan kabar. Yang penting untuknya adalah mendengar dengan telinganya sendiri bahwa mereka sehat, bahagia, dan hidup dengan baik. Ibu masih bisa tersenyum dan tertawa mendengar suara anak-anaknya dari ujung telepon. Apapun caranya.

Matanya semakin berat. Ibu bangkit dari tempatnya singgah, menepuk-nepuk sprei yang kusut, lalu berjalan mematikan lampu. Rumahnya semakin kosong. Rumah sederhana ini terasa begitu besar dan sepi. Tapi Ibu bisa menahan rindu, hari Raya akan datang membawa anak-anaknya pulang.

Kamis, 11 Juni 2015

Aku tidak hidup untuk kamu.


taken from Tumblr

"Aku tidak menuntutmu untuk hidup, aku menginginkanmu sempurna."

Bisikan itu memenuhi telinganya, membuat bulu kuduknya merinding. Sosok perempuan itu sekarang mengelilingi tubuhnya. Bisa ia rasakan wangi khas perempuan itu. Kulitnya bisa merasakan kuku perempuan itu pelan-pelan berjalan dari arah kepala menuju tengkuknya. 

"Aku sangat berharap bisa mengerti apa yang kamu pikirkan.." Kukunya berhenti disana, tepat dibelakang kepalanya. Ia menggigit bibirnya, merasakan ketakutan menjalari tubuhnya. Gelap tak menolong, tapi malah semakin membuatnya berdegup tak karuan. Saat ini ia bagaikan domba yang bertemu serigala. Tak berdaya.

Suara nafas perempuan itu begitu nyata terdengar. Sialnya ia tak bisa melihat apa yang saat ini dilakukan perempuan itu. Saat ini ia hanya bisa duduk tak bergeming di kursinya, menanti akhir. Perempuan ini pemuja kesempurnaan. Dia hidup untuk suatu aturan yang dibuatnya sendiri, yang diyakininya akan menuntunnya pada kesempurnaan yang hakiki. Seharusnya, ia pun hidup dengan cara yang sama. Cara yang sudah ditentukan. Apa daya, aturan sudah dilanggar. Sekarang, kuku-kuku itu menjalari tubuhnya seakan-akan menyobek permukaan kulitnya untuk mengoyak tubuh.

Kuku itu sekarang berhenti di pundaknya yang bertelanjang. Menusuk, dalam. Sakitnya baru terasa. Matanya melebar, giginya menggigit bibir lebih keras, tak ada jeritan, tapi hatinya sudah berteriak kesakitan.

"Sayang.. aku tidak hidup untuk seseorang yang tidak sempurna.."

Bisikannya semakin lirih ditelinga. Sakit di bahunya sekarang bukan apa-apa dibandingkan sakit yang ia rasakan di kepala. Pantas ia merasakan pening yang membuat kepalanya terasa pecah. Karena sekarang, mungkin kepalanya sudah benar-benar pecah.

Jumat, 15 Mei 2015


Dia, gadis yang senang bernyanyi. Tak pernah sekalipun aku mendengarnya berkata-kata. Yang dia lakukan adalah mengibaskan rambutnya yang menutupi wajah, menari melewati debu, dan mengeluarkan suara-suara indah yang menggoda. Aku selalu suka melihatnya untuk waktu yang lama. 

Hanya satu pertanyaanku, kapan kamu berhenti bernyanyi dan mulai untuk bicara?

Kamis, 23 April 2015



Aku tak pernah tahu apa yang kamu doakan untukku,
tapi yang kutahu pasti,
doa-doamu mengaliri setiap titik ruas tubuhku,
yang terbaik.

Karena setiap bibir ini siap mengeluarkan keluhnya,
lagi-lagi aku dibuat tertegun,
bahwa syukur yang harus kukatakan,
yang terbaik.

Doamu,
media pengharapanmu menuju-Nya,
untukku.

Kamis, 12 Maret 2015

The Theory of Everything, or it's just The True Theory of Life


Currently, loving Eddie Redmayne on this movie.

Sebelumnya saya nggak pernah tau cerita tentang Stephen Hawking ini. Waktu nonton pun saya nyempetin dulu buat nge-googling dulu tentang beliau. Pas baca di Wikipedia, saya nemu hal menarik. Hawking cerai dengan Jane dan menikah dengan mantan perawatnya, dan pada tahun sekian dia menceraikan istri keduanya itu.

Lho, saya kira ini film drama romantis yang... ya taulah ya. Modelnya 'The Notebook', 'The Vow', dan sebagainya yang punya garis besar yang sama. Ya singkatnya film mereka itu menceritakan 'bukti cinta' gitu sama pasangannya. Agak kaget juga, tapi tetep saya tonton juga akhirnya. 

Sori kalo jadinya spoiler,
tapi setelah selesai nonton saya makin suka sama film ini.

Minggu, 22 Februari 2015

Intermezzo?

Vakansi sudah mulai berdebu.

Tiup saja debunya, tak usah membaca lebih lanjut.