Minggu, 22 Mei 2011

Kotak Memori

Aku berlari menuju kedai kopi yang sudah sangat kukenal sambil berkali-kali melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku sudah terlambat 20 menit dan aku harap dia tidak kesal. Sesampainya disana aku membuka pintu kedai itu lalu mencari-cari sosok yang aku kenal.

Ya... 
Aku melihatnya.

Dia ada disana, duduk menghadap jendela kedai kopi yang penuh dengan minuman mengepul panas didepannya. Tangannya  bersedekap. Pandangannya lurus. Lalu aku baru menyadari bahwa aku menahan napas saat mataku menemukan sosoknya.

Dia menoleh, dan... 
mata kami bertemu untuk sesaat.

Aku tersenyum canggung, dan lega melihat raut mukanya yang tidak menampakkan rasa kesal atau bosan. Dengan langkah agak terburu-buru aku mendekati mejanya. Belum aku bicara sepatah katapun dia sudah menyela napasku,

"Aku--"

"Tolong jangan meminta maaf. Aku baru datang kira-kira 10 menit sebelum kedatanganmu."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal lalu menarik kursi yang ada dihadapanku. Sambil duduk aku tersenyum kecil. "Baiklah, itu kata-kata yang menggembirakan."

Alisnya bertaut bingung, "Maksudmu?"

"Aku akan menjadi sangat tidak enak jika seorang perempuan menungguku untuk waktu yang lama. Aku tahu kau tidak suka menunggu, kan?"

***


Dia sangat... cantik.

Namanya Mikaela. Dia gadis yang menyenangkan. Obrolan kami berjalan santai namun berbobot. Dia tahu kapan harus bicara serius, dan membiarkan obrolan kami mengalir tak membosankan. Humornya tidak begitu bagus, tapi aku menyukai senyum gelinya saat aku berusaha untuk bertingkah sedikit konyol. Mungkin, aku memang sangat payah dalam hal seperti ini.

Aku tidak berani memandang matanya untuk waktu yang lama. Tapi karena alasan yang sama pula, aku mendapati diriku ingin memandang matanya yang berwarna coklat. Matanya begitu tajam. Dan mungkin saja dibelakang matanya itu terdapat magnet. Dia... mempunyai sepasang mata yang indah.

Dia satu college denganku. Aku tidak begitu mengenalnya, tapi aku sudah mengenalnya jauh hari sebelum hari ini.

Lucu, seperti ada yang menarik sesuatu dari belakang kepalaku dan menariknya sampai ke depan mataku. Melihat Mikaela ada diepanku sekarang, bicara padaku, melihatku... rasanya menyenangkan. Mengingat dulu aku hanya bisa memandanginya dari jauh dan berusaha mungkin mendapatkan tempat duduk paling dekat dengan dia untuk mendengarkan hal apa yang membuatnya tersenyum hari ini.

Tidak ada yang tahu tentang hal ini, dan tidak perlu ada yang tahu.  

Karena yang penting adalah sekarang, bukan apa yang terjadi di masa lalu.

Satu janji lain telah terucap, kami akan bertemu lagi nanti. Dan dalam hati aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengenalnya lebih jauh. Aku memandangi langkahnya yang semakin jauh dari kedai kopi. Dia tidak perlu tahu siapa aku di masa lalu. Dia hanya perlu tahu aku yang sekarang, yang baru saja ditinggalkannya 5 menit yang lalu. 

Rasa egoisku tumbuh, merasuki hati dan pikiranku. Aku ingin menjadi penting untuk dia.

Untuk seorang perempuan yang memiliki sepasang mata indah, yang sudah aku tunggu bertahun-tahun lamanya. Karena dulu, aku menunggu sesuatu yang tidak pernah akan terjadi. Satu pernyataan yang membuatku menelan ludah. Karena begitu jujur sekaligus menyakitkan. Dulu, aku menunggu seseorang yang bahkan dia tidak tahu jika aku menunggunya.



***

Minggu ini akan semakin sempurna jika aku punya waktu untuk menghabiskannya dengan tidur.

Waktuku sudah habis berkutat dengan kuliah dan kerja part-time-ku yang diam-diam memakan masa mudaku dengan ganas. Carmel akan menyebutku Beruang yang tengah hibernasi jika hari Minggu tiba. Dia akan mengerti dan tidak menggangguku di hari Minggu, kecuali untuk hal yang benar-benar urgent, seperti tadi pagi.

Ngomong-ngomong, bagaimana keadaannya sekarang?

Carmel belum pernah bertingkah seaneh itu, jika dibandingkan dengan hal-hal anehnya lainnya yang sering membuatku jengkel. Tubuhnya seperti dirasuki jiwa anak kecil yang tidak bisa diam. Tapi sebagaimana menyebalkannya dia, dia adalah sahabat terbaikku. Dia sudah seperti adik kecilku.

Aku berjalan menuju arah pulang. Hari belum begitu siang, dan aku ingin segera sampai ke kamar dan tidur. Lalu aroma daging hangat menggelitik hidungku. Burger. 

Setiap melihar burger pikiranku langsung tertuju pada Carmel. Dia menyebut burger sebagai krabby patty, karena kefrustasiannya tidak menemukan krabby patty asli di dunia nyata. Mungkin dia memang pernah hidup Bikini Bottom dan reinkarnasi dari Spongebob. Dan dia hidup terlalu lama disana. Di dunia nyata, sekarang dia menganggap jika aku adalah Patricknya. Jiwa yang kembali bersatu.

"Mereka tidak lucu sama sekali Liam, aku setuju denganmu. Tapi aku senang melihat bagaimana mereka tertawa dan bersenang-senang, mereka sama sekali tanpa beban. Bukankah kita ingin seperti itu, Liam?"

Aku ingin menyelanya dengan mengatakan, 'Tentu saja mereka tanpa beban, karena mereka tidak punya otak untuk digunakan sama sekali', tapi aku pikir itu hanya membuat Carmel semakin merecokiku dengan tayangan Spongebob Squarepants, maka aku pun diam. Dan ikut menonton tayangan itu sampai selesai.

Aku berjalan mendekati stan penjual burger itu lalu mengambil handphone dari sakuku lalu menekan nomor yang sudah aku sangat hapal.

"Carme?
Bagaimana keadaanmu?
Baik? Syukurlah.
Oh, kalung itu? Kau suka? Ya, sama-sama. Aku tahu kau akan menyukainya.
Hei... kau tidak pergi kemana-mana kan? Aku akan ke apartemenmu sebentar.
Ya... ada yang ingin aku berikan..."

Aku menutup bagian bawah handphone-ku menjauhkannya sedikit lalu mendongak ke arah penjual burger, "Satu krabby patty, ya."

***


Baca posting sebelumnya disini!