Selasa, 28 September 2010

2 Kepala

Hujan menghantam tanah, tapi dia masih belum mau menghindar. Matanya menelusuri jalan setapak yang menghadang di depannya. Jalan masih jauh, tapi hujan masih saja terus mengguyur. Dia sudah basah kuyup. Kedinginan. Lapar. Siap ambruk.

Badannya sudah protes. Kepalanya menunduk, tak tahan akan pukulan hujan yang terus menerus menerpanya. Tapi hatinya masih tetap berteriak, dia harus pulang. Harus.

"Ampun. Apa yang kau lakukan sebenarnya?"

Dia menyentakkan kepalanya. Merasa terganggu. "Diam."

"Tak perlu kau buang waktumu untuk hal semacam ini. Hujan kau tantang? Bah! Apa ada artinya?"

"Kau buang waktuku untuk menasehatiku, dan kau tahu aku tidak akan menghiraukan ucapanmu, sedetik pun," desisnya, "Pergi."

"Aku tidak akan pergi. AKu hidup dikepalamu. Kau cukup bodoh membiarkan aku tetap hidup. Toh, kau butuh kekuatanku."

Dia merasa geram. Sesaat terlintas untuk mencopot kepalanya, tapi itu tidak mungkin. Sebuah seringai kemenangan terbayang diwajahnya.

"Oke Tuan, aku ikut denganmu sekarang. Tapi sepenuhnya, aku yang mengontrolmu."