Senin, 22 Agustus 2011

Lembar yang Terbuka

Tanganku merah.

Entah apa yang membuatnya begitu perih, sehingga aku tak kuat lagi memaksakan tanganku untuk bekerja. Tumpukan dus yang terlihat berantakan sekarang menjadi pemandangan disekitar apartemenku. Sumpek, rasanya pengap. Seakan paru-paruku dimasuki oleh beribu kapuk tak terlihat dan menutup mulutku dengan sapu tangan berbau apek.

Tidak betah sekali rasanya.

Aku membiarkan barang-barang tergelak begitu saja. Rasa-rasanya sudah tidak ada niatan sama sekali untuk membereskannya, walaupun aku tahu waktuku tinggal sedikit. Tapi aku juga butuh waktu yang sedikit untuk bernapas dengan layak.

Aku mendongakkan kepalaku keluar jendela. Pemandangan dibawahku memang tidak membuat paru-paruku terasa lebih baik--dengan kemacetan dan segala keruwetan jalanan--tapi ini semua terlihat lebih menyenangkan dibanding tumpukan benda persegi cokelat yang baunya tidak karu-karuan disekitar apartemen. 

Seperti puluhan Spongebob yang tidak ramah.

Aku menggigit bibirku, sebuah benda tertangkap oleh mataku, dan mengantar otakku memasang adegan kecil yang membuat sudut dalam perutku tersentak.

Burung hantu. Liam.

...dan, Mikaela.

***


"Aku sudah mendiskusikannya, mungkin ada jalan keluar untuk proyek ini, Carme,"

"Kau yakin?"

"Yakin seratus persen!"

Suara diujung telepon itu terdengar begitu antusias dan optimis. Andaikan rasa itu bisa aku serap melalui telingaku, mungkin aku akan lebih terdengar bersemangat, tidak menyedihkan seperti ini. Sepeninggal Liam, aku mengurung diri dikamar, sampai akhinya teleponku berdering. Tadinya aku ingin mengacuhkannya begitu saja, tapi melihat nama lain di layar ponsel itu, niat awalku enggan kulakukan.

Dia masih terus bercuap-cuap dengan bersemangat. Aku mendengarkannya dengan setengah mata tertutup, dan setengah mati untuk mencerna setiap kata yang terucap. Akhirnya aku teringat sesuatu dan berusaha menghentikan serbuan kata-katanya yang tak bisa terbendung lagi.

"Itu ide yang sangat bagus sekali, tapi sayangnya mungkin aku sudah tidak bisa berpartisipasi lagi..."

"Apa maksudmu?"

Aku menggigit bibir, "Beasiswaku dicabut,"

Suara dibalik telepon berubah menjadi erangan marah. "Apa maksudmu? Kenapa itu semua bisa terjadi?"

Aku butuh keberanian besar untuk kembali membuka mulutku.

"Ada masalah... dan aku tidak bisa menjelaskan itu semua disini. Yang pasti akan membutuhkan banyak sekali biaya untuk melanjutkan studi disini, sedangkan Ayahku sedang sakit keras... jadi ya, kemungkinan besar aku akan pulang dan melanjutkan studiku disana,"

Terdengar helaan napas, "Kau yakin dengan semua keputusan ini? Kau brilian, Carme. Aku tidak mungkin melepaskanmu begitu saja, kami tentu tidak mau."

"Aku pun tak mau..."

Rasanya aku ingin menangis lagi.

"Aku akan membicarakan ini dengan Liam... mungkin dia akan membantu kita. Aku berjanji, Carme. Dia orang baik,"

"Liam?"

"Ya, Liam. Dia membantu kita dengan proyek itu, baru saja aku bertemu dengannya. Dia baik sekali sampai harus membatalkan janjinya dulu dengan temannya... aku merasa tidak enak sebenarnya... Ah sudahlah, bagaimana, Carme? Carme?"

Aku tak tahu harus bicara apa lagi. Aku sekarang tahu kemana dia pergi selama ini.

Mungkin sekarang Liam bukan menjadi Pendengar Paling Baik se-Duniaku lagi.

"Mikaela? Aku akan menghubungimu lagi nanti. Bye."

***

Baca posting sebelumnya, disini!