Jumat, 12 Agustus 2011

Sore yang Buruk

"Liam!"

Suara itu familiar, tapi aku tidak benar-benar mempercayai pendengaranku sesungguhnya. Aku menoleh, memastikan apa yang aku kira sama dengan kenyataan yang ada. Sosok itu, sosok yang sama. Sepasang mata cokelat itu, mata yang sama.

Aku merasakan kedua ujung bibirku tertarik keatas secara perlahan. "Halo Mikaela,"

"Ada waktu sebentar? Ada yang harus aku bicarakan sedikit tentang proyek yang kemarin..."

Aku melihat jam tanganku sekilas. Tidak apakah menunggu sebentar?

Otak dan pikiranku mungkin sedang tidak sinkron. Dengan refleks, cepat, aku berkata dengan yakin, "Ya, tentu saja. Kau mau membicarakannya dimana?"

***

Sialan. Hujan sialan. Semuanya sialan.

Sampai berbuih mulutku mengutuki semua hal yang ada disore ini. Semuanya berantakan. Menyebalkan. Harusnya sisa hari ini berjalan baik, selepas akhirnya aku bisa mengobrol lama dengan Mikaela lagi. Tapi semuanya berantakan. 

Semoga yang terakhir ini tidak semakin membuat hariku jelek.

Aku mengetuk pintu yang sudah aku kenal dengan baik. Belum ada yang membukakan pintu. Aku mengusir bulir-bulir air yang mengerumuni kepalaku bagai wadah, membuat ubun-ubunku terasa dingin. Hidungku merah, aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Tanda-tanda flu bisa saja menyerangku setiap saat sekarang.

Aku menaikkan sebelah alisku. Mana dia? Lama sekali.

Aku memutuskan untuk mengetuk pintu sekali lagi, 
lalu pintu itu terbuka,
dan mulutku bungkam saat melihat sosok yang membukakan pintu itu menatapku.

Carmel. Dan matanya kembali sembab. Kami diam untuk waktu yang lama, lalu aku memberanikan diri untuk bicara terlebih dahulu.

"Kenapa kau langgar janjimu?"

Carmel mengerlingkan matanya, lalu berbicara pelan.

"Kenapa kau pergi begitu lama?"

Aku membungkam mulutku. Berkali-kali kubuka, tapi tak ada kata yang keluar. Sosok Mikaela yang tadi memenuhi kepalaku, menghilang perlahan, meninggalkan rasa tak nyaman dalam kerongkonganku. Carmel masih menatapku dengan matanya yang kuyu, dan aku... masih diam.

"Aku... masih boleh masuk?"

Carmel masih tetap memandangiku lama, membuat kakiku kesemutan.

Kepalanya menggeleng, lalu menutup pintu apartemennya dengan cepat. Tidak keras, tapi membuatku benar-benar tidak berguna. Seperti ada yang menonjok perutku. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat kedua kakiku lemas.

Ya. Sisa hariku berjalan dengan sangat buruk.

Aku ingin mengetuk pintu itu sekali lagi... tapi kudengar samar-samar suara tangis yang membuatku menggigit bibir. Suara geraman yang bersatu dengan tangisnya begitu menyakitkan. Aku menjauhkan diri dari pintu. Dan melangkah pergi dengan kepala tertunduk.

***

Baca posting sebelumnya disini!