Jumat, 02 Maret 2012

Kembali.

Mikaela.

Sosok didepanku begitu menawan, dengan sepasang mata cokelatnya yang indah, yang membuatku tertahan begitu lama didepannya. Seperti tersihir. Magnet. Atau apapun itu namanya--daridulu, sampai saat ini. Dulu egoku kuat, bahwa aku ingin memiliki dia. Bagaimanapun caranya.


Tapi sekarang...
entahlah, bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.

Dia jelas tipe bagi laki-laki kebanyakan. Model perempuan yang mendapat lirikan lama--bukan sepintas--tapi model lirikan ingin tahu. Ingin tahu lebih jauh, siapa dia sebenarnya. Dan aku adalah salah satunya. Memiliki sebagian besar waktunya untukku adalah kebanggan tersendiri, karena aku tak perlu susah payah seperti dulu. Menahan rasa yang tak kunjung aku keluarkan, membuatku menjadi pengecut diam-diam.

"Liam?"

Suaranya yang lembut membuatku tersadar dari lamunanku. Apalagi yang harus aku pikirkan? Dia sudah ada disana. Aku bisa memilikinya, jika aku mengatakannya sekarang. Tapi tetap saja perasaan salah itu bergelayut di pikiranku.

"Ya?"

"Apa yang kau pikirkan?"

Aku tersenyum canggung, "Bukan sesuatu yang penting."

"Kau tahu, setelah kau membantuku untuk proyek itu--sesuatu yang berakhir dengan sangat sukses... aku berpikir kau adalah seseorang yang sangat perfeksionis. Tapi setelah selang beberapa lama, kau cukup menyenangkan walaupun terkadang agak sedikit kaku,"

"Benarkah?"

"Ya. Tapi jujur... aku bahkan belum melihatmu tertawa lepas. Apakah hidupmu memang seserius itu?"

Aku mengerutkan dahiku. Setahuku, aku bukanlah tipe orang semuram itu. Hal yang baru saja dikatakan Mikaela pastilah orang lain. Bukan aku. Bahkan aku disebut nenek-nenek cerewet pecinta kebersihan oleh... ah, Carme.

Pikiranku melayang sesaat membayangkan raut wajahnya yang ceria, hampir kekanakan. Dia pergi begitu saja saat dia mentah-mentah menolakku didepan apartemennya. Sudah 3 bulan berlalu setelah kepergiannya--tanpa kabar, atau apapun itu--rasa bersalahku padanya masih belum sirna. Kudengar kabar beasiswanya dicabut dan ayahnya tengah sakit keras. 

Kenapa dia tidak memberitahuku?

Aku sedikit geram saat tahu dia pergi begitu saja, begitu dingin, dan menganggapku bukan siapa-siapanya. Dia sudah seperti adik perempuanku, tidak seharusnya dia pergi tanpa pamit. Atau setidaknya pergi dengan baik-baik.

Tapi aku pun terlalu takut untuk mencarinya. Aku takut dia masih membenciku. Aku tahu alasannya dengan sangat jelas. Karena kebodohanku, egoku. Bahkan aku tak berani untuk menelepon nomernya--walaupun aku tidak tahu nomer itu masih aktif atau tidak. Aku takut senyumnya tak seramah dulu saat dia kembali bertemu aku. Segalanya pasti tidak sehangat dulu.

Ya, rindu ini ada.

Melihatku tak kunjung menjawab pertanyaannya, matanya beralih ke ponselnya lalu sedikit terperangah melihat getar halus yang masuk. Tangannya buru-buru memencet tombol 'menjawab', membuatku sedikit menoleh.

"Halo?
Ya?
Carmel?
Ya ampun... apa kabarmu?"

Seketika dadaku berdesir. Ya Tuhan... rasanya aku ingin menarik ponsel itu dari telinga Mikaela.

***

Baca postingan sebelumnya, disini!