Minggu, 24 April 2011

Karamel.

"Kamu tidak pernah tahu kan kapan rasa itu datang?"

*

Perempuan itu bernama Carmel, yang secara tidak langsung mengingatkan aku dengan karamel. Sesuatu yang manis. Mungkin kurang cocok dengan sikapnya yang cuek berlebihan dan keras kepala, tapi selepas itu... ya, dia manis.

Dia sangat cerewet--lebih dari itu aku kira--aku selalu memanggilnya dengan 'Kotak Suara Berjalan'. Dia sangat suka bicara sampai orang-orang yang ada disekitar kami pasti akan melihatnya terus menerus. Bukan karena ingin melihat jelas sosoknya, tapi lebih tepatnya memberikan pandangan tajam seperti, "Nona, tolong diam. Kau membuat kepalaku pusing.".

 
Tapi aku tidak pernah membiarkannya untuk berhenti bicara.



Karena sekalinya dia berhenti bicara, sesuatu yang buruk pasti tengah terjadi di pikirannya. Seperti saat itu... hari itu ulang tahunnya, dan aku membiarkan dia untuk memilih film apa yang ingin dia tonton untuk hadiah ulang tahunnya. Dia memilih Inception. Aku tahu dia sangat menyukai Leonardo DiCaprio, jadi aku biarkan dia mengoceh dan membelikan tiket. Tapi setelah keluar dari bioskop, dia hanya diam.

"Aku tahu kau suka Leonardo DiCaprio, Carme, tapi apakah dia begitu mempesonamu sampai kau tidak bisa bicara?"

Dia tampak sangat gelisah. Matanya bergerak-gerak kesana kemari, seakan ingin sekali menemukan sesuatu untuk melarikan diri. Tapi aku terus memandanginya sampai akhirnya dia menyerah dan berkata, "Aku ingat ulang tahunmu dua bulan yang lalu dan aku tidak memberimu kado. Selamat pun tidak."

Rasanya aku ingin sekali tertawa. Matanya yang bulat menatapku tidak enak sedangkan aku tersenyum sambil menahan tawa, "Saat itu kau sedang marah denganku, ingat? Kau tidak perlu mempersoalkannya,"

"Tidak, tidak. Liam. Ini artinya tidak adil," Lalu dia merogoh-rogoh tasnya dan meraih dompet, "Ini, aku bayar kembali tiketnya..."

"Carmel. Cukup, kau membuatku sakit hati,"

Carmel memandangiku dengan bingung. Kelihatan sekali dia semakin tidak enak.

"Kau tidak perlu seperti itu, Carme. Tapi jika itu yang kau inginkan, baiklah," Aku pura-pura berpikir, "mungkin malam ini kau harus mentraktir aku makanan yang enak,"

Carmel menghela napas lega, lalu tertawa, "Oke. Itu adil."
*

Dan sekarang dia kembali terdiam.

Wajahnya pucat. Matanya bengkak. Aku tahu dia habis menangis semalaman. Dia tidak mau menatapku. Matanya seakan terpaku pada gelas kopi yang tengah dipegangnya. Bau kopi hangat menguar berkeliling disekitarku. Entah itu gelas kopinya yang keberapa. Melihatnya saja pun aku sudah merinding.

Yang aku tahu tadi pagi dia meneleponku, dan menyuruhku untuk sarapan bersama di apartemennya. Suaranya serak, nyaris hilang. Aku tahu dia membutuhkan aku saat ini. Walaupun sampai saat ini dia masih saja bungkam. Aku jengah lalu membuka mulut, "Carme, sebenarnya--"

"Kamu tidak pernah tahu kan kapan rasa itu datang?"

Aku memandangnya keheranan. "Maksudmu?

***