Jumat, 29 April 2011

Si Telinga Besar

Sepi sekali.

Sepi yang begitu lama, membuatku tidak nyaman.

Aku menatap cangkir kopiku dengan tatapan kosong. Liam masih di depanku, dia masih sabar untuk menungguku bicara. Tadi aku sudah meneleponnya untuk mengajaknya sarapan bersama, tapi sekarang... kami hanya diam. Tidak. Dia menungguku bergerak, karena sebenarnya daritadi aku hanya diam.

Aku akhirnya berusaha bicara, "Maaf, aku tidak bermaksud seperti ini, aku hanya--"

"Tidak apa-apa."

Aku mendongakkan kepalaku, menggeleng dengan putus asa. Tapi Liam mendahuluiku. Dia tersenyum menenangkan. "Kau mungkin belum siap mengatakan apa yang tengah mengganjal dikepalamu sekarang, aku mengerti. Tapi aku mohon, jangan biarkan dirimu menjadi menyedihkan seperti itu. Melihatmu seperti ini benar-benar..."

Aku memotong kata-katanya sambil berusaha tersenyum, "Aku tahu. Maaf telah mengkhawatirkanmu."

Dia kembali tersenyum. Liam menepuk pundakku pelan, menyemangati. Sambil masih tersenyum dia pun mulai bangkit dari tempat duduknya, "Hei! Kau sudah mengajakku sarapan pagi ini... Jadi kau harus bertanggung jawab dengan melayaniku makanan-makanan enak, Nona. Sejujurnya aku sangat lapar,"

"Apa aku membangunkanmu begitu pagi sampai kau tak sempat memakan apapun?"

"Kau mau tahu?" Liam menatapku serius, "aku berlari kesini saat kau meneleponku. Aku tidak menyentuh air sedikitpun. Bagaimana sarapan?"

***

Karena skill memasakku yang payah, akhirnya kami pun hanya makan telur. Aku harap dia tidak marah walaupun aku lihat wajahnya sedikit cemberut. Entah dia hanya menggodaku atau memang dia benar-benar sedang ingin makan banyak yang enak.

"Kau memalukan sekali. Kau seorang perempuan tapi hanya bisa memasak telur. Seharusnya aku tadi membawa sekeranjang makanan untuk dibawa kemari,"

"Ya, lalu kau akan menggelarnya seperti di taman? Apa kau pikir kita akan piknik? Ide yang sangat bagus, Liam,"

Liam.

Dia adalah mantan tetanggaku, dan teman pertamaku. Dulu apartemennya tepat disebelahku sampai akhirnya dia memutuskan untuk pindah karena teman satu apartemennya pindah ke luar kota. Sekarang tempat tinggalnya pun tak jauh dari tempat tinggalku sekarang, hanya berbeda beberapa blok saja.

Liam adalah teman yang menyenangkan, sekaligus menyebalkan. Dia adalah seseorang yang sangat rapi. Dia tidak suka melihat barang yang tidak pada tempatnya. Dan sasaran empuk ceramahnya yang paling setia adalah aku. Kebalikan dari Liam, aku adalah orang yang sangat cuek dan sembrono. Dia berubah menjadi nenek-nenek pecinta kebersihan yang sangat rewel saat masuk ke apartemenku. Aku pikir dia akan terbiasa, tapi sepertinya tidak.

Selain itu, dia adalah pendengar yang sangat baik.

Aku adalah seseorang yang amat sangat cerewet, karena itu aku tidak pantas berteman dekat dengan seorang perempuan. Jika memang ya, kami akan saling berebut untuk bicara terlebih dahulu tanpa saling mendengarkan. Dan itu sangat menyebalkan.

Dan, ya, aku harus bersyukur memiliki teman sebaik Liam karena walaupun dia terlihat seperti tidak mendengarkan, tapi dia mendengarkan aku dengan sangat baik. Sampai titik pada kalimatku selesai. Aku benci orang yang pura-pura mendengarkan aku dan mengalihkan pembicaraan begitu saja, sangat tidak menghargai.

Karena itu aku menganugrahkan predikat, 'Pendengar Paling Baik se-Dunia' kepada Liam.

Ya, aku sangat nyaman untuk berbicara dengannya. Masalah apapun.

Tapi saat ini, bibirku terkunci. Setelah makan, kami tidak banyak bicara. Aku masih belum berani untuk membicarkan apa yang sebenarnya tengah bercokol di kepalaku. Dan... waktunya tidak tepat. Mungkin lebih baik aku memang harus membiarkan diriku diam untuk saat ini. Walaupun aku tahu, Liam takkan suka.

"Carme... maafkan aku, aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku punya janji jam 10, dan..." Dia melirik jam lalu kembali menatapku, "...ini sudah jam 9.15. Dan aku belum mandi. Aku harus tampil rapi dalam waktu singkat dan aku harap kau tidak keberatan."

"Tidak, tidak, tentu saja. Pergilah. Maaf aku sudah sangat merepotkanmu dan membuatmu khawatir,"

"Tidak masalah," ucap Liam sambil membuka kenop pintu, "tapi aku harap ini tidak sering terjadi, Carme."

Aku nyengir bersalah.

"Aku tidak bercanda soal ini," ucapnya lebih tegas.

"Tenanglah, Liam. Aku berjanji, maafkan aku,"

"Bicaralah kalau memang kau ingin membaginya denganku," Liam tersenyum, "Dan, ah... aku menaruh kado kecil untukmu. Aku harap kau suka. Aku membelinya saat aku pergi ke luar kota kemarin,"

"Wow. Kejutan yang menyenangkan... Terimakasih,"

"Sama-sama. Jaga dirimu baik-baik, Carme,"

Setelah menutup pintu, aku menemukan bingkisan kecil di atas sofa. Aku membukanya. Kalung burung hantu. Aku tersenyum. Dia selalu tahu kalau aku menyukai segala apapun yang berbentuk burung hantu. Menurut Liam burung hantu itu menyeramkan. Aku mengatakan sebaliknya, kecuali jika yang dia bicarakan adalah burung hantu sebenarnya. Burung hantu asli agak sedikit menakutkan dengan mata besarnya itu.

Disebelah bingkisan itu tergeletak notes-ku yang terbuka. Aku tahu jelas tulisan siapa itu. Aku kembali tersenyum.

Tiba-tiba saja, aku ingin kembali membenamkan kepalaku ke bantal, lalu menangis sepuasnya.

***

Baca posting sebelumnya disini!