Minggu, 11 September 2011

Kelas Lama


Sosok itu terus mondar-mandir di depan papan pengumuman. Melihatnya mungkin orang-orang akan sedikit bingung, sebenarnya apa yang dia lakukan. Dengan seragam yang rapi, rambut dicepak dan tas selempang warna birunya, dia tetap mondar-mandir. Seperti menunggu sesuatu, tapi tak ada yang tahu apa yang ditunggunya.
                “Kamu nunggu pengumuman? Kan sudah ada? Kenapa terus mondar-mandir?”


             
Sosok itu hanya tersenyum kecil sambil menggeleng. Diseragamnya tertempel papan nama bertuliskan ‘Harun A. S’. Mungkin anak baru, pikir anak-anak yang tengah berseliweran depan papan pengumuman. Karena daritadi dia sendirian, tanpa teman. Tapi anak baru itu sudah memakai seragam yang sama dengan mereka, bahkan terlihat agak lusuh.
                Adanya Harun yang terus mondar-mandir membuat anak-anak penasaran dia siapa. Siapapun yang mengajaknya bicara hanya dibalas senyuman, anggukan atau hanya gelengan kecil. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir anak baru itu.  
                Sesekali matanya memandang kearah gedung yang tengah dibangun. Gedung itu dirombak total untuk beberapa kelas baru di tahun ajaran mendatang. Tadinya gedung itu adalah kelas-kelas biasa yang sudah tidak pernah direnovasi selama sekolah ini berdirir. Entah kenapa gedung itu begitu membuat Harun tertarik. Beberapa kali dia menggumam, “Itu kelasku.”
                Harun memang tidak mengganggu, tapi dia benar-benar membuat penasaran.
                “Kamu anak baru?”
                Dia hanya tersenyum.
                “Oh anak sini, ya? Kelas berapa?”
                Dia mengangguk kecil.
                Si penanya mulai mengerutkan dahi, lalu menatap Harun lekat-lekat, “Dapat kelas apa?”
                Harun tetap diam, tapi tatapannya menghadap gedung yang tengah dibangun itu.

*
Aku tidak mengganggu, kok.
                Sudah seharian aku mondar-mandir di depan papan pengumuman, membuat orang-orang kebingungan, tapi aku tetap saja tidak menemukan jawaban.
                Mereka seharusnya mengenal aku, andai saja waktu tidak berjalan begitu cepat.
                Satu minggu lagi tahun ajaran baru dimulai, tapi tetap saja aku tidak menemukan kelasku. Apa aku sudah benar-benar begitu dilupakan oleh mereka sehingga namaku tak tertera didaftar kelas itu? Aku merasa kesal, apalagi dengan seenaknya mereka merombak kelas yang sudah aku anggap sebagai rumah kedua. Rasa-rasanya tidak adil. Gedung itu sekarang memang terlihat mewah, tapi tetap saja tidak mengundang rasa ingin kembali keruangannya.
                Aku tidak akan berhenti mencari, mungkin namaku terselip disana.
*
“Harun?”
                “Iya namanya Harun. Bapak tau?”
                Bapak itu mengerutkan alisnya yang sudah mulai berubah warna. Lalu bertanya dengan intonasi bingung, “Kamu lihat dimana? Tau darimana namanya Harun?”
                “Seminggu yang lalu, Pak. Waktu pengumuman pembagian kelas. Saya lihat dia mondar-mandir depan papan pengumuman. Yang lihat dia juga bukan saya aja, Pak. Saya kira dia anak baru, tapi katanya bukan,”
                “Anak kelas mana dia?”
                “Waktu ditanya dia enggak jawab sama sekali, Pak. Cuman senyum, geleng-geleng. Tapi dia ngeliatin gedung baru terus. Sepertinya kelasnya disana,”
                Bapak itu semakin mengerutkan keningnya.
                “Kayak yang cari-cari apa gitu, Pak… Kayak menunggu sesuatu.”
                “Duh, Nak… Bapak jadi takut,”
                “Loh, kenapa, Pak?”
                Bapak itu mengurut-ngurut keningnya lalu membuka mulutnya, masih dengan ekspresi bingung yang sama, “Karena pembangunan gedung baru itu… takut ada yang marah.”
                “Marah? Siapa, Pak?”
                “Ya itu… macam Harun.”
                “Hah?”
*
Ini kelasku.
                Tempatku menimba ilmu dengan giat, sampai akhirnya aku harus meninggalkan ruangan ini untuk selama-lamanya. Aku ingat bagaimana rasanya penyakit itu merembet ketubuhku, menghancurkan sistem otakku dengan cepat, dan aku terkapar begitu saja diruangan ini. Aku telah menggegerkan seisi sekolah.
                Memang sudah bertahun-tahun lamanya, tapi aku masih suka berada disini. Sedikit apek dan gelap, tapi tempat ini begitu menyenangkan. Sampai akhirnya benda-benda besar itu menghancurkan setiap sisi dari ruangan ini. Gedung ini hancur begitu saja. Selamat untuk anak-anak baru, kelas kalian baru.
                Tapi aku tidak suka.
                Aku mondar-mandir seharian saat pengumuman itu datang. Aku berharap namaku ada disalah satu daftar kelas, lalu orangtuaku datang untuk daftar ulang. Tapi aku hanya bisa berharap, kejadian yang sudah terjadi bertahun-tahun lalu lamanya itu tidak akan terulang. Aku membiarkan diriku terlihat, tapi aku tak membiarkan kelasku hilang begitu saja.
                Mungkin sedikit gertakan akan membuat gedung-gedung itu kembali seperti semula.





penulismanda.blogspot.com