Minggu, 11 September 2011

Si Bibir Merah

Anak kecil itu terus menggambar. Entah gambar apa yang ditengah diimajinasikannya. Guratan besar tak tentu, garis-garis tak saling berhubungan, layaknya bola kusut. Aku yang tengah mengobrol meliriknya sebentar. "Masih anteng aja ya Jeng Sinta anaknya? Enggak kayak anak saya, gak mau diam sekali," ucap seorang Ibu bersanggul tinggi dengan dandanan menor mencolok sambil memiring-miringkan bibirnya yang berwarna merah menyala.



"Iya, Bu Dian. Anjar memang pendiam anaknya. Sampai-sampai saya sendiri juga suka takut. Kok anak ini diam saja,"

"Enak kali, Bu, anak kayak gitu. Enggak pusing. Gampang diatur!"

Aku mengangguk, berusah mengalihkan perhatianku kembali pada sesosok wanita didepanku yang tengah mengoceh seru tentang perjalanan liburannya ke Eropa. Aku menghela napas. Entah kenapa hatiku terasa gundah. Waktu terus bergulir dan omongan Ibu itu masih belum berhenti. Mulutnya seperti mesin pemotong rumput yang terus memotong waktu tanpa ia sadari. Aku sendiri tidak mengerti inti dari kedatangan Ibu Dian datang kerumahku. Nyonya kolongmerat itu bukan seseorang yang suka beramah tamah dengan tetangganya, kecuali memang dia benar-benar ada keperluan mendesak. Sekali lagi mataku mengerling Anjar yang masih saja menunduk, diam selama berjam-jam disebelahku sambil terus menggambar. Tangannya sudah kotor dengan warna krayon yang membuyar diberbagai sisi. Mulutku membentuk senyuman kecil, bisa saja Anjar terlihat seperti memakannya jika aku tidak memperhatikannya dengan jelas.

"Nah, Jeng... sepertinya ada satu cerita lagi yang terlewat ya," Jari-jarinya berbalut kuteks tampak memantulkan sinar cahaya lampu yang berpendar diruangan itu. Bibirnya membentuk seringai kecil yang entah mengingatkanku dengan nenek sihir jahat yang ada dicerita dongeng. Tapi aku berusaha untuk tetap mendengarkan.

"Ya? Silakan saja bercerita, Bu,"

Mulutnya baru saja terbuka saat pintu diketuk. Aku menoleh. "Ah, sudah pulang?"

Itu suamiku. Wajahnya terlihat lelah tapi senyumnya masih tampak saat dia memandangku. Namun entah kenapa matanya dengan cepat beralih pada sosok yang ada disebelahku. Ekspresinya membeku sesaat dan terlihat... takut? Aku berusaha mengenyahkan pikiran itu lalu buru-buru mengampirinya. "Ibu Dian sudah kenal suami saya? Dia sekarang bekerja di tempat yang sama dengan Ibu dulu kalau saya tidak salah,"

Lagi-lagi senyum itu. Senyum memuakkan itu. Suamiku bergerak tak nyaman disampingku. Aku membiarkan genggamanku terlepas lalu dia pergi menuju ruangan lain. Senyum di bibir merahnya merekah semakin lebar lalu dia hanya berbisik kecil, "Suamimu... menyenangkan."

Alisku bertaut bingung lalu yang aku tiba-tiba saja Anjar mengerang. Lalu aku baru melihat gambarnya dengan jelas saat ini. Seperti sumur tak berujung yang gelap, yang sisi-sisinya tampak membara. Aku bergidik ngeri. Ada apa?

***

"Meninggal?"

Mataku yang sembab melebar tak percaya. Seseorang menepuk pundakku lalu mengangguk kecil. Aku tak percaya. Ada apa dengan ini semua?

Sambil memandang badan kaku yang telah diselimuti kain putih yang bersih, aku terus berpikir. Mereka meninggal disaat yang sama. Di tempat yang berbeda. Dengan cara yang sama. Dan hanya berselang beberapa jam. Keracunan makanan, itulah yang dikatakan Polisi. Makanan yang terakhir dimakan suamiku adalah makanan buatanku, apa aku begitu bodoh sampai bisa memasukkan bahan mematikan untuk suamiku sendiri? Ibu Dian pun meninggal dengan alasan yang sama saat dia baru saja sarapan dirumahnya. Pembantunya baru saja digiring Polisi dari rumah mewah itu untuk penyelidikan lebih lanjut. Apa nasibku akan sama? Menjadi tersangka pembunuhan untuk suamiku sendiri?

"Mah?"

Aku menoleh. Anjar, anakku. Aku mengecup dahinya dengan sayang. Aku merasakan rasa yang berbeda, pahit. Aku mengerutkan kening lalu menilik dahinya. Krayon. Aku melihat dibalik punggungnya dia menyembunyikan sehelai kertas lainnya. Aku mengambilnya. Anjar tertawa lalu pergi. 

Gambarnya sederhana. Dua kotak persegi panjang berwarna hitam. Di kotak pertama tergambar gambar muka seorang laki-laki diatasnya dan dikotak lainnya tergambar muka seorang perempuan yang bibirnya bercap bibir merah. Entah kenapa aku menjadi penasaran. Perlahan aku meninggalkan ruang tengah yang masih dipenuhi sanak keluarga dan tetangga yang tengah berbela sungkawa. Aku menuju kamar. Kuraih kemeja suamiku. Ada cap bibir merah disana. 

Aku semakin penasaran. Kubuka laci meja, kuambil HP suamiku. Cek kotak masuk pesannya. Tidak ada yang aneh. Kuputuskan untuk melihat ke kotak terkirim. 

Terimakasih untuk malam ini wanita berbibir merahku.

Kurasakan badanku bergetar. Pintu terbuka, aku hampir saja terlonjak. Anjar ada disana. Tersenyum lebar sambil mengasongkan botol kecil hitam.

Sekarang aku mengerti.




penulismanda.blogspot.com